2015-12-20

Ketika segalanya serba terbatas

Anak muda....

Menikahlah sebelum mapan. Agar anak-anak anda dibesarkan bersama kesulitan-kesulitan anda. Agar anda dan anak-anak anda kenyang merasakan betapa ajaibnya kekuasaan Allah.

Jangan sampai anda meninggalkan anak-anak yang tak paham bahwa hidup adalah perjuangan.
(Adriano Rusfi, Psikolog)

Hidup dalam kesederhanaan maupun keterbatasan tidak pernah kucita-citakan.  Aku dan suamiku memang memulai segalanya dari nol. Kami menikah dengan modal yang kami bawa sendiri. Saat itu usiaku baru dua puluh dua tahun dan suamiku dua tahun lebih tua dari usiaku. Setiap saat aku selalu optimis bahwa kehidupan kami di masa yang akan datang akan lebih baik dan lebih baik lagi. Meski kenyataan tak seindah impian, perjalanan hidup banyak memberiku pelajaran berharga. Hingga kutemukan kata-kata berharga ini dari postingan yang dibagikan seorang teman facebook. 


Dalam delapan hampir sembilan tahun pernikahan ini, tiga anak terlahir dari rahimku. Bagi kami, mereka adalah anak-anak istimewa yang dikirimkan Allah kepada kami. Berkaca dari masa kecilku yang bahagia dan tak pernah kekurangan, aku berupaya memenuhi  kebahagiaan masa kecil anak-anak kami. Pernah aku bersedih karena merasa tak mampu memberikan mereka yang terbaik, bersedih  bahwa mereka harus melalui hal-hal yang tak pernah aku lalui di masa kecilku dulu. Tapi sekali lagi mereka adalah anugerah teristimewa dariNya.


Kisahku bersama Syahdu (8tahun, kelas 3 SD)


Di suatu siang sepulang sekolah aku mendapati bau tak sedap di rumah. 

“Hmm ini bau apa ya bang?” tanyaku pada Syahdu yang baru pulang sekolah. “Oh ini mungkin bau kakiku bun, karena basah sepatunya” jawab Syahdu. 

Glek! Aku agak tertohok, anakku bersekolah menggunakan sepatu basah? Langsung saja kulihat sepatunya yang tergeletak di depan pintu. Sepatu yang dibeli tujuh bulan lalu sudah lepas bagian dalamnya, mungkin karena sering kehujanan. Sore itu akupun membelikan Syahdu sepatu baru, ini tidak masuk ke dalam perencanaan pengeluaran sehingga aku hanya membeli sepatu yang harganya sesuai dengan budget yang ada. Syukurlah ada sepatu dengan model yang cukup bagus dengan harga yang terjangkau.

 “Bang, ini sepatunya dicoba dulu muat atau tidak,sementara pakai sepatu ini dulu ya. Kalau nanti bunda atau ayah ada uang lagi, insyaAllah kita beli yang lebih bagus dan mahal” jelasku kepada Syahdu, khawatir ia tidak menyukai sepatu yang kubeli. Tapi apa jawabnya? “Gak apa-apa bunda, ini juga sudah bagus, aku suka kok” tukasnya riang. 

Nyess... anakku, lihatlah wajahnya tak sedikitpun menyiratkan kekecewaan, yang ada hanyalah mimik gembira karena dibelikan sepatu baru. Aku membandingkan dengan anak dari salah satu kerabatkku yang maunya dibelikan sepatu maupun baju bermerk saja. 


Dalam kesempatan lain,  ibuku menceritakan tentang Syahdu kepadaku. Ia menawarkan kepada Syahdu untuk dibelikan sepatu baru dan ia menjawab tidak usah karena sudah punya. Pernah juga ia hendak diberikan eyangnya uang jajan sebesar lima ribu rupiah namun ia menolaknya. 

Katanya, “aku sudah diberikan bunda uang dua ribu” Eyangnya sampai harus memaksanya untuk menerima uang tersebut.  Pernah juga saat ditawari eyangnya mau makan apa, ia hanya menjawab , “apa saja yang ada di rumah ini”. 

Kami tertawa lucu menceritakan kelakuan polos Syahdu.  Sungguh ia bukan anak yang banyak menuntut. Sehingga ketika suatu kali, selepas mengambil hasil raportnya yang dipenuhi angka 90,  ia minta dibelikan mainan akupun menyanggupinya. Kukira ia akan meminta mainan dengan harga lebih dari seratus ribu rupiah, mainan mahal yang diidam-idamkan banyak anak. Tahukah apa yang diinginkannya? Ia hanya ingin dibelikan mainan LEGO seharga TIGA PULUH LIMA RIBU rupiah saja! Padahal aku sudah mengira ia akan meminta dibelikan mainan mobil remote control atau sejenisnya.  Ah Syahdu, bunda  beruntung memilikimu nak.



Itu hanyalah sekelumit cerita diantara sekian banyak cerita kesederhanaan anak-anakku.  Dalam beberapa hal seperti membeli baju, mainan ataupun jajanan aku memang membatasi mereka. Syahdu hampir tidak pernah membawa uang ke sekolah. Ia hanya membawa bekal yang aku bawakan untuknya kecuali di saat-saat tertentu. Namun ia bebas mengatakan bila ia perlu atau ingin sesuatu.  Kami, terutama aku ibunya, berusaha menjalin komunikasi yang baik dengan anak-anak. Prinsip kami, orang tua adalah orang yang harus dihormati dan dipatuhi bukan untuk ditakuti oleh anak-anaknya. Syahdu pun memahami jika tidak dibelikan sesuatu bukan berarti kami pelit. Ada alasan yang kami ungkapkan kepadanya. Misalnya ketika ia minta dibelikan sepeda, kami menyetujuinya hanya saja ia harus bersabar menunggu sampai uang tabungannya cukup. Ketika uangnya cukup kamipun membelikannya sepeda sesuai budget yang ada. Anak-anak harus mengetahui dan diajak untuk dapat memahami alasan orang tuanya. Karena jika mereka tidak memahaminya kemudian membandingkan dengan orang tua temannya maka anak tersebut kehilangan rasa bersyukur. Yang ada hanyalah gerutuan karena tidak diberikan apa yang diinginkannya. 


Betapa sedihnya jika kita mendengar keluhan seorang anak tentang mengapa ia harus dilahirkan dalam keadaan serba terbatas (ekonominya). “Kenapa sih, aku harus dilahirkan pas keadaan sulit?” Aku mengenal anak yang mengatakan hal seperti itu dan aku tahu bahwa keadaannya jauh lebih baik dibandingkan keadaan anakku. Setidaknya anak itu kuketahui masih bisa bersekolah dengan baik, menempati rumah yang layak, memakai baju-baju bermerk. Namun karena ada komunikasi yang tidak terjalin antara anak tersebut dengan orang tuanya sehingga keluarlah kalimat keluhan itu. 


Orang tua pun harus memahami yang menjadi keinginan serta kebutuhan anak-anaknya. Jika memang yang diinginkan itu masih dalam batas kewajaran kemudian orang tua mampu membelikannya, aku rasa tidak ada alasan bagi orang tua untuk tidak memenuhi keinginan mereka. Jika kedua hal itu berjalan selaras, insyaAllah hubungan orang tua dan anak akan tetap harmonis dalam keadaan apapun. 


Apapun yang kami, aku dan anak-anakku, alami saat ini, semoga menjadi sebuah kebaikan di masa yang akan datang.  Aamiin.

7 komentar:

  1. anak solih Syahdu. semoga makin solih. setuju Mbak, dengan belajar menunda keinginan anak jadi lebih tangguh. semua tergantung bagaimana orang tua mendidik anak. selamat ya Mbak.

    BalasHapus
  2. Masya Allah Syahdu. Semoga jadi anak yg sholeh ya nak.

    BalasHapus
  3. Masya Allah Syahdu. Semoga jadi anak yg sholeh ya nak.

    BalasHapus
  4. Apapun keadaannya, percayalah Allah ingin kita tetap dijalur kebaikan, makanya Allah kasih ujian hidup yang bermakna.

    Salam kenal mbk :)

    BalasHapus
  5. Aamiin terima kasih doanya.
    Keterbatasan memang tak selalu buruk. Saya jg suka bersyukur krn keterbatasan ini sehingga saya terbatas jg memanjakan anak.

    Salam kenal mba ani.

    BalasHapus
  6. amiin....smoga Syahdu makin sholeh dan bisa terus membanggakan...

    BalasHapus
  7. Syahdu, semoga jadi anak yang membanggakan orang tua yah, amin..

    BalasHapus

Komentar baik berupa kritik maupun apresiasi baik yang sopan amat saya nantikan, terima kasih telah singgah di blog ini :)

Share