2012-01-23

Anak-anakku yang cerdas dan kreatif

Sore itu seperti biasa, selepas memandikan kedua buah hatiku Syahdu (3.5th) dan Nada (16 bulan) , kami bercengkerama di ruang keluarga. Menemani mereka bermain sembari menikmati kelucuan yang ada merupakan hiburan yang amat menyenangkan. Putra pertamaku sudah dapat berjalan sejak usia sebelas bulan disusul dengan kebolehannya berbicara pada usia satu tahun. Sebelum lancar berbicara, dia sudah bisa menunjukkan gambar-gambar hewan dengan tepat saat ditanya. Kemampuan kognitifnya berkembang semakin baik setelah mampu berbicara, ia mampu menyebutkan namanya dan nama-nama anggota keluarga terdekat. Dilanjutkan dengan kemampuan menyebutkan huruf abjad baik huruf besar maupun huruf kecil. Kemampuan motoriknya juga berkembang sangat baik, terutama aktifitas tangannya. Meloncat, memanjat, melempar benda-benda tak terelakkan lagi sering dilakukannya.  
Lalu bagaimana dengan putri kecilku yang menggemaskan? Perkembangan motoriknya memang sedikit lebih lambat  dari abangnya. Nada baru bisa berjalan setelah berumur satu tahun dan berbicara empat bulan setelahnya. Namun setelah itu kemampuan motoriknya mampu menyamai abangnya. Mungkin karena sering melihat abangnya berloncatan kesana kemari sehingga dia meniru gerakan tersebut. Alhasil rumahku hanya bisa rapih saat mereka tidur atau berada di rumah orang lain, kekekekeke  Sebenarnya aku sudah mempersiapkan diri dalam menghadapi keaktifan anak-anakku ini, namun tetap saja kesabaranku seakan perlu terus diuji. Mulai dari hal-hal sepele hingga hal-hal yang rasanya  membuatku ingin berteriak minta tolong.

Episode  Syahdu dengan mouse laptop
Sejak hamil hingga anak pertamaku berusia satu tahun, aku memang memilih untuk di rumah secara penuh dan mengurus anak sendiri tanpa dibantu siapa-siapa kecuali sesekali. Jadi aku suka mengisi waktu luang dengan main game yang ada di laptopku menggunakan mouse tentunya. Mouse-ku yang mengeluarkan cahaya lampu berwarna-warni rupaya menarik perhatian syahdu yang saat itu baru berusia enam bulan. Syahdu yang saat itu sedang belajar merangkak berusaha menggapai mouse dengan penuh semangat. Melihat keadaan itu aku menjadi berpikir bahwa ini adalah salah satu cara agar bayiku berlatih merangkak. Maka, akupun sengaja menjauhkan laptop dan mouse  dari jangkauannya agar ia terus berusaha mendapatkan mouse itu.     Begitu terus terjadi sehingga Syahdu menjadi amat akrab dengan mouse laptopku dan tidak hanya menyukai lampu yang menyala dari mouse tersebut tapi juga kabel yang menyertai mouse tersebut. alhasil diapun suka sekali merengek meminta mouse meski sedang tidak dinyalakan. Kalau sudah memainkan kabel-kabel mouse itu maka ia pun menjadi lebih tenang. Sampai mouse itu kutemukan tidak lagi bias dipoerasikan karena bola yang ada di dalamnya keluar dan rusak sehingga aku harus menggantinya dengan mouse yang baru. Hingga saat ini tak terasa aku telah mengganti mouse-ku sebanyak lima kali. Entah karena kabelnya yang rusak karena ditarik-tarik ataupun kepala mouse yang rusak karena dibanting atau terkena air liur. Lagi-lagi aku merelakan mouse-mouse itu menjadi mainan bagi anak-anakku. Toh kalau dibelikan mainan yang lain mereka cuma suka sesaat, tak apalah mouse itu menjadi korban bagi kekreatifan anakku. Bakat itu Nampaknya udah mulai kelihatan, Syahdu sudah mengerti cara menyalakan komputer, kabel-kabel mana saja yang harus dicolokkan ke stop kontak. Dia juga sudah bisa menggerakkan mouse dalam bermain game hamsterball kesukaannya. Bahkan tidak kusangka ia sudah bisa melewati level 2.  Memainkan ipad touchscreen milik tantenya, wuihh gayanya.... samapai-sampai eyangnya dibuat takjub melihat gaya cucunya itu. Semoga kelak ia akan menjadi ahli komputer lebih pintar dari ayahnya. Amin..

Episode Syahdu dan pintu lemariku
Saat aku tengah sibuk memperhatikan putri kecilku yang sedang hobi memanjat kursi, tiba-tiba saja terdengar suara, “praaaakkk”, hah ada apa itu? Tergopoh-gopoh  menuju sumber bunyi yang terdengar dari kamarku. Ternyata bunyi itu berasal dari pintu lemariku yang terlepas dari engselnya. Aku kaget tak mengerti mengapa bisa terjadi hal seperti ini. Syahdu berada disana, di depan lemariku.. ohhh syukurlah dia tidak ketiban atau terjepit pintu lemari. Tapi apa yang dia lakukan disana?  Rasanya ingin marah dan langsung menarik jagoanku itu, namun  aku menahannya. “Bang, abang ngapain di kamar sampai pintu lemari bunda jadi copot begitu?”, tanyaku sambil menahan jengkel. “Aku gak ngapa-ngapain kok bunda, aku cuma pegang  gagang pintunya aja eh tau-tau copot”, jawabnya dengan ekspresi tak bersalah. Padahal rasanya baru beberapa menit ia menghilang dari pandanganku dan sesuatu telah terjadi tanpa dapat kucegah. Alhasil lemariku kini tak berpintu kecuali sebelah.  Kalau bukan karena muka dan ekspresi lucunya, pastilah aku sudah memarahinya habis-habisan. Setelah amarahku mereda, aku menasihatinya baik-baik. Bahwa  ia tidak boleh mnggelayuti lemari, tidak boleh bermain disana karena itu bukan mainan. Lemari merupakan tempat menyimpan baju supaya tidak digigit tikus. Juga memberinya pengertian agar mengasihani bunda dan ayah yang sudah membeli lemari dengan susah payah, berharap ia mampu menghargai jerih payah orang tuanya. Semoga dia mengerti apa yang aku katakan.

Episode pindah rumah
Kami baru saja tiga hari pindah rumah, tentu saja berantakan dimana-mana. Tidak ada orang yang membantu kami membereskan rumah, karena memang saat ini kami belum punya asisten rumah tangga. Disela-sela kesibukanku mengurus anak-anak dan juga mengajar, susah payah aku merapihkan seisi rumah agar lebih layak untuk dihuni. Berhubung anak-anakku masih perlu minum susu maka aku mengutamakan memasak air panas maupun dingin. Pagi-pagi aku sudah memasak air. Air panas sudah siap, air  dingin kusimpan di lemari es agar lekas dingin. Beberapa jam kemudian, putriku menangis karena haus ingin minum susu. Maka akupun bergegas menyiapkan susu untuknya. Namun apa yang terjadi? Oh tidaaaakkk…….disana ada Syahdu sedang asik menuang air botol dari lemari es ke botol mickey mouse kesukaannya. Air-air itu pun bertumpahan ke lantai sehingga menarik Nada untuk bergabung bersama abangnya memainkan air. Nada menjatuhkan tubuhnya di atas lantai yang basah karena air yang ditumpahkan abangnya. Dan aku? Aku tak dapat menahan kekesalan dan berteriak, “Syahdu…. Ngapain kamu mainan air dingin? Bunda sudah capek-capek masak…”teriakku. Tidak ada air dingin yang tersisa, lalu bagaimana mau bikin susu? Terpaksalah kusimpan botol susu yang masih panas ke dalam freezer. Refleks saja kupukul tangannya yang iseng ituh... Setelah emosiku mereda, kutanya jagoanku itu,”Syahdu tadi kenapa kok airnya dipindahin ke botol mickey? Kan jadi kotor dan airnya jadi tumpah ke lantai, tanyaku. “Habis, aku pangil-panggil bunda nya gak denger, aku kan mau minum pake botol mickey...”, jawabnya polos. Aku mengerti maksud jagoanku itu. Dia hendak memindahkan air botol ke botol minum kesukaannya. Tentunya hal tersebut berguna dalam melatih otot motoriknya juga daya kognitifnya. Setidaknya dia memindahkannya ke botol dengan alasan yang benar. Bukan sengaja menumpahkan ke lantai begitu saja. Kalau dalam kondisi normal mungkin aku masih bisa menerima keadaan itu dengan lapang dada, namun saat itu aku benar-benar kelelahan. Sesudahnya, aku cuma senyum-senyum mengingat kelakuan-kelakuan lucu mereka.  

Episode Nada dengan air
    Aku semakin hapal dengan hal-hal yang disukai putriku. Pertama, dia paling suka diajak jalan-jalan, dengan motor, mobil ataupun jalan kaki. Kedua, dia paling senang main air. Bisa berjam-jam kalau sudah bermain air, kalau diangkat…uh jangan ditanya bisa ngamuk dia. Nah, siang itu Nada ngambek dan menangis terus tanpa sebab. Walhasil kurayu dia dengan mengizinkannya bermain air di teras depan, disana ada kran air yang mengucur. Benar saja, wajahnya langsung berbinar ceria. Kemudian akupun melanjutkan menyapu dan mengepel lantai di dalam rumah sambil bolak-balik menengok anakku itu, takut terpeleset. Sepuluh menit berlalu aku merasa, kok tidak kedengaran suaranya, ada apa ya? Kutengok dia ke teras. Hohoho apa yang terjadi? Nada sedang asyik bermain sabun cuci yang lupa kusimpan kembali. “nda…nda…ci..cii…”, teriaknya kegirangan. Maksudnya, bunda nih aku lagi nyuci. Bertaburanlah bubuk deterjen itu di teras lantai. Aduhh mau gimana lagi, memang keteledoranku yang menyebabkan semua ini. Daripada ngomel-ngomel, lebih baik kuciumi saja putriku yang tubuhnya padat berisi itu.

Episode Nada dengan handphone bunda
Nada suka sekali  meniru kegiatan ayah dan bunda yang dianggap menarik olehnya. Seperti saat kami menerima telepon.  Ia suka menirukan dengan menempelkan tangan di telinganya dan langsung berkata “halo..” lalu bergaya dan berbicara selayaknya orang sedang berbicara ditelepon. Hihihi lucu memang kalau melihat gaya yang seperti itu. Rupanya ia tidak puas hanya memeragakan tanpa memegang telepon sesungguhnya, maka tanpa kusadari anakku itu telah meraih telepon genggam yang kuletakkan di atas lemari es, entah karena apa, terlepaslah telepon genggamku itu dari tangannya dan “braaakk…”, jatuh ke lantai. Hiks, terlambat aku menyelamatkan handphone touch screen-ku itu, sedih dan terkejut kurasakan. Ingin kumarahi dia dan kuceramahi betapa pentingnya handphone dalam menunjang pekerjaan bundanya juga betapa sayangnya kalau harus membeli handphone yang baru sementara ada banyak kebutuhan yang mesti dipenuhi. Tapi, ah… dia mungkin takkan mengerti dengan semua yang akan kukatakan itu, dia pun pasti tak sengaja berbuat seperti itu. Reaksiku saat itu, tercengang tak percaya dan langsung masuk ke kamar tidurku. Meninggalkan anakku dengan ART-ku. Setelah tenang kembali, akupun menghampiri putri cantikku itu.  
Sebelumnya, Nada pernah membanting   handphone cdma-ku. Namun mengapa, aku tetap saja tak tega bila melihatnya merajuk minta dipinjamkan handphone baruku itu. Aku memahami bahwa anakku memang anak yang besar rasa ingin tahunya juga aktif  dalam bergerak. Sering pula ia tidak sabar dan begitu ngotot dengan keinginannya. Bila tidak diberi maka akan mengamuk dan tidak berhenti sebelum dituruti keinginannya. Dalam hal ini misalnya bila  ingin memegang handphone-ku namun tak diberi, maka akan terus merajuk hingga diberi. Gerakannya yang aktif kesana-kemari  diam-diam ia suka mengamati gerak-gerik ayah-bundanya, apa saja yang kami lakukan dan  kami pegang. Ia pun tertarik dengan alat yang dapat mengeluarkan bunyi kemudian ketika dipencet-pencet dapat terdengar suara orang-orang yang dikenalnya, entah suara ayah ataupun eyangnya. Pernah kuberikan dia handphone mainan dengan baterai yang dapat mengeluarkan bunyi-bunyian namun hanya sebentar saja dimainkan olehnya. Dia tetap lebih memilih handphoneku atau hanphone ayahnya dan tak menggubris handphone mainan yang kubelikan untuknya. Ah dia terlalu pintar untuk dibohongi. Bahkan dia sudah dapat membedakan mana yang mainan dan mana yang sungguhan. Aku pun berpikir, ya sudahlah kalaupun harus handphoneku menjadi korban atas keaktifan anakku. Mungkin inilah yang dimaksud dengan learning cost harga dari sebuah pembelajaran.
Masih berderet cerita tentang  hasil kerajinan tangan anak-anakku. Setelah kupikir-pikir anakku melakukan hal yang kelihatannya tidak baik namun sebenarnya memiliki arti bagi mereka. Mereka memiliki maksud namun karena keterbatasan yang mereka miliki sehingga maksud tersebut menjadi salah terutama di mata orang dewasa, para orang tua yang kemudian  menganggap hal-hal tersebut sebagai kenakalan. Mereka hanyalah anak-anak yang penuh rasa ingin tahu dan tidak sabar untuk dilarang begini dan begitu. Di usia mereka, tidak ada rasa takut melakukan sesuatu ataupun memegang sesuatu yang berbahaya bagi orang dewasa. Misalnya saat mereka tanpa sengaja bermain dengan pisau, api atau benda-benda lainnya. Tugas kitalah sebagai orang tua untuk menghindarkan anak-anak dari benda tersebut agar tidak terjadi sesuatu yang dapat mencelakakan mereka. Kemudian menasihati mereka dengan baik dan sabar bila mereka melakukan hal-hal yang dirasa tidak baik apalagi membahayakan. Namun tidak setiap hal perlu kita larang, ada hal-hal yang mungkin berbahaya namun masih dapat ditolerir bila kita mendampingi mereka dalam bermain. Misalnya saat mereka hendak memanjat kursi, mereka tetap dapat melakukannya tentu dengan pengawasan kita sebagai orang tua. Hal ini perlu dilakukan agar mereka tidak terpaksa perlu untuk melakukannya sendiri.  Karena sesungguhnya kaca yang pecah dapat diganti dengan yang baru, namun siapa yang bias menghapus kesedihan di hati anak-anak karena hardikan kasar orang tua? Sesungguhnya anak-anak adalah amanah dari allah untuk kita jaga dan didik sebaik mungkin. Mereka adalah anak-anak unik yang tak bisa disamakan satu sama lain. Yang mengajarkan kepada kita kesabaran. Meski pernah saya memarahi anak-anak karena tingkah mereka yang kerap menjengkelkan namun anak-anak tidak pernah menjadi takut atau segan terhadap saya, bundanya. Tetap saja mereka merajuk seolah memohon untuk dimaafkan. Beda halnya jika mereka dimarahi oleh orang lain, pasti mereka menangis karena takut. Sesudah memarahi pun rasanya menyesal juga. Biasanya saya langsung memeluk dan menciumi mereka usai marah. Saya pribadi berusaha menahan diri sebisa mungkin agar tidak mengeluarkan kata-kata kasar yang dapat melukai hati mereka ataupun untuk mereka tiru. Apalagi memukuli mereka untuk melampiaskan amarah. Bila sesekali khilaf memukul ringan, segeralah meminta maaf pada anak dan memeluknya erat, agar anak tak merasa tak disayang. Sungguh, mereka tidak bermaksud untuk nakal kecuali rasa penasaran yang besar atau sekedar mencari perhatian.
    Syahdu dan Nada adalah malaikat dan peri kecil yang telah memenuhi hari-hariku dengan berbagai hal luar biasa menakjubkan. Mereka mengajariku bagaimana bersabar dan indahnya menjadi seorang bunda. Memaksaku berpikir keras dalam memenuhi rasa ingin tahu mereka yang besar. Melatih bunda untuk memasak bervariasi menu yang menyenangkan dan lezat. Juga melatih bunda agar bisa merapihkan rumah lebih baik dari waktu ke waktu. Terima kasih telah membuat bunda bisa menulis kembali 

Dibalik Pilihan Seorang Ibu

Menjadi seorang ibu baru bukanlah pekerjaan mudah. Lepas dari hamil yang merepotkan hingga melahirkan yang butuh perjuangan. Menyusui yang kukira bisa terjadi dengan sendirinya tak kualami sama sekali. Di hari ketiga pasca melahirkan, aku masih kebingungan mengapa ASIku tak kunjung keluar kecuali setetes dua tetes. Demi memberikan kolostrum bagi bayiku yang baru lahir aku terus berharap dan mengusahakan keluarnya ASI. Berturut-turut temanku yang datang membesuk kelahiran putraku terus memberi dorongan dan masukan agar aku senantiasa bersabar menyusui bayiku. Dan bayiku terus menangis hingga akhirnya tertidur di pangkuanku, kelelahan menangis karena yang ia harapkan dapat memenuhi dahaganya tidak juga ada. Selama sebulan aku terus memperjuangkan ASI keluar sembari memberikan susu formula kepada bayiku. Mengenai hal ini keluargaku sempat memiliki trauma tersendiri. Adik bungsuku, Rayhan, dilahirkan oleh ibuku saat usiaku enam belas tahun. Sudah pasti aku telah mengerti mengenai apa yang terjadi saat itu. Ibuku melahirkan secara caesar, sehingga masih harus menginap di RS selama lima hari. Sayangnya, di hari ketiga ibuku merasa gelisah. Ia merasa ada yang tidak beres dengan adik kecilku. Memang adik kecilku berada di ruangan terpisah dari ibuku. Kami tidak bisa menyuapinya susu dengan leluasa kecuali di siang hari. Ibuku sangat khawatir mengenai hal ini. ASI ibuku memang tak kunjung keluar meski payudaranya telah membengkak dan ia merasakan sakit yang amat sangat. Tak kurang dokter juga perawat yang mengusahakan agar ASI dapat segera keluar dari ibuku. Pastinya mereka memperhatikan karena ibuku dirawat di ruang VIP. Sayangnya ASI tak juga keluar dan peraturan rumah sakit tidak membolehkan memberikan susu menggunakan botol dot, bayi harus disuapi dengan sendok.  Menyuapi bayi dengan sendok bukan perkara mudah. Ini adalah hal yang memerlukan ketelatenan dan kesabaran tingkat tinggi. Sementara saat menyuapi adikku di siang harinya saja aku sudah kerepotan, apalagi para perawat yang notabene merawat lebih dari satu bayi? Dan kekhawatiran ibuku beralasan. Ibuku curiga dengan suara tangisan bayi yang ia dengar terus-menerus. Ia merasa itu adalah suara tangisan adikku yang kehausan. Meski belum pulih benar, ibuku bangun dari tempat tidurnya dan bergegas menuju ruang bayi. Dan benar saja, adikku terus  menangis disana. Sedihnya, badan adikku terasa panas dan kekuningan. Kontan saja ibuku langsung marah-marah, sambil berlinangan air mata, kepada perawat yang ada. Ia kecewa dengan pelayanan yang diberikan, padahal kami bersedia merawat adik bayi namun tidak diizinkan sekamar dengan ibuku. Dokter pun segera datang dan menangani adikku. Ternyata billirubin adikku tinggi, ini diakibatkan kurangnya cairan dan sinar matahari. Kasihan sekali dia, akibat kelalaian perawat, adikku yang mungil harus berada di ruang inkubator. Tubuh mungilnya terlihat ringkih diselimuti selang, tak hanya itu bayi berumur tiga hari itu terpaksa ditransfusi darah pada bagian kepala. Ya Allah tak terkira pedihnya hati kami (bahkan saat menuliskannya aku masih saja meneteskan air mata). Ibuku, bapakku, aku dan adikku, kami terus saja menangis melihat adik bayi tergolek lemah disana. Kami hanya bisa berdoa untuk kesembuhan adik. Di hari kelima, ibuku sudah boleh pulang, tapi adikku masih harus dirawat disana. Itu adalah hari-hari paling memilukan dalam keluarga kami. Syukurlah tiga hari berikutnya adikku sudah sehat kembali sebagaimana bayi lainnya. Hal ini adalah pelajaran berharga dalam hidup kami, hidupku. Barangkali ini pula yang menjadi latar belakang mengapa ibuku mendorongku untuk memberikan sufor sesegera mungkin ketika melihat ASIku tak kunjung keluar. Tentu saja ia tak ingin kejadian serupa kembali terjadi pada anakku.
Aku menyaksikan sendiri perisitiwa ini terjadi pada ibuku saat melahirkan adik kecilku. Sehingga au mengetahui jawaban yang sesungguhnya mengenai pilihan ibuku terhadap anak-anaknya dan aku tak mampu menghakiminya mengapa ia tak memberikan ASI pada kami? Nyata adanya kulihat hebatnya rasa sakit karena membengkaknya payudara akibat ASI yang tidak keluar. Itupula yang terjadi padaku pasca melahirkan putra pertamaku. Setelah aku merasa telah berjuang sepenuh tenaga demi memeroleh ASI bagi putraku, aku pun menyerahan sepenuhnya kepada Allah SWT. Inilah rezeki yang diperuntukkan bagi putraku berupa susu formula. Sungguh aku tak tergiur dengan iklan-iklan susu formula yang menawarkan berbagai kelebihannya. Aku adalah ibu yang insaf bahwa ASI adalah yang terbaik bagi setiap bayi. ASI tentu lebih mudah daripada harus menyiapkan susu formula apalagi saat keuangan keluarga sedang tidak baik. Maka aku tidak mengerti kalau seorang ibu harus dipersalahkan karena ia tidak bisa memberikan ASI pada putranya, karena sesungguhnya ia tidak pernah menginginkan hal itu terjadi.  Aku hanya bisa berdoa semoga susu yang dibeli dengan jerih payah ayahnya dapat bermanfaat bagi tubuhnya dan tiada memberikan efek samping negatif apapun yang dikatakan orang maupun berita-berita itu. Setiap ada pemberitaan negatif mengenai susu formula, hanya Allah yang tahu betapa gundah-gulananya diriku sambil terus berdoa agar anakku baik-baik saja. Sesungguhnya Allah lah yang memberikan manfaat pada setiap makanan dan ia pula yang menurunkan penyakit sebagai ujian. Dan aku berharap Allah menjaga anakku dari segala penyakit berbahaya. Aku meyakini kehalalan dari susu formula tersebut, aku juga tak melihat ada dalil Qur’an ataupun Hadits yang menyatakan keharaman pemberian susu bukan ASI pada seorang anak. Tidak pula seorang ibu dinista karenanya. Rasulullah saw bahkan meminum susu unta. Tidakkah sapi, kedelai atau bahkan kambing juga makhluk ciptaan Allah yang darinya terdapat banyak manfaat? Entang daging atau susunya. Artikel demi artikel mengenai kehebatan ASI dan juga keburukan susu formula kulahap sebagai informasi penting bagi diriku agar tetap waspada. Namun aku sudah lelah bila harus berpolemik mengenai hal tersebut. Biarlah setiap ibu mengusahakan yang terbaik bagi anak-anaknya dan memutuskan yang terbaik tanpa harus banyak berdebat. Syukurilah bila seorang ibu dapat memberikan ASI dengan lancar dan mudah kemudian sukses membesarkan mereka tanpa juga harus diimunisasi. Karena cobaan yang kita alami berbeda, cobalah berempati dengan ibu-ibu lain yang tak seberuntung itu.  


Share