2015-12-23

Angka-angka pada rapor Syahdu



Pagi-pagi aku sudah bersiap untuk mengambil rapor Syahdu. Sengaja datang lebih awal pukul 7.45 agar dapat leluasa sharing dengan wali kelasnya. Begitulah aku selalu bersemangat untuk mengambil rapor anak-anakku. Bukannya karena aku yakin nilai-nilai mereka pasti bagus atau demi mendengar pujian dari guru-gurunya. Aku merasa beruntung diberi kesempatan menyelami dunia pendidikan sebagai guru dan banyak mendapatkan pencerahan mengenai pendidikan anak. Aku juga beruntung bahwa sebagai guru paruh waktu masih bisa menemani anak-anakku belajar sehingga dapat memahami kemampuan tumbuh kembang mereka. 

Masih kuingat dengan jelas momen pertama kali mengambil rapor putra sulungku itu yaitu ketika ia masih belajar bersekolah di sebuah TPA saat usianya masih menginjak 2,5 tahun. Memang aku tak dapat berharap banyak kepada seorang guru TPA yang mungkin masih berpikiran konvensional. Konvensional dalam artian bahwa murid yang baik harus selalu duduk manis mendengarkan ibu guru dan atau mengerjakan tugas dengan rapi. Dan aku juga menyadari bahwa Syahdu termasuk anak yang suka bergerak. Hal ini juga dikuatkan dengan hasil tes sidik jari (gratisan loh) yang menyatakan bahwa gaya belajar Syahdu bersifat Visual kinestetis.
Pantaslah demikian, karena nyatanya Syahdu memang lebih mudah menerima pelajaran melalui gambar, video maupun tulisan di papan tulis ketimbang jika hanya mendengarkan gurunya berbicara.  Dalam geraknya yang terlihat tak bisa diam ternyata ia mampu menangkap pelajaran yang dimaksud. Tapi kelebihannya itu baru ditemukan oleh guru SD nya di kelas 1.  

Apa yang terjadi pada pengambilan rapor pertama kali di TPA? Aku sungguh tak berharap pujian karena bagiku TPA hanyalah sebagai sarana Syahdu untuk belajar bersekolah mengingat usianya yang masih terlalu dini kala itu. Gurunya menyampaikan kalau anakku  yang sudah tahu huruf sejak usia dua tahun itu, masih sulit untuk berkonsentrasi. Nilainya pun hanya berkisar dua huruf, C dan D. Tebak apa yang aku katakan kepada gurunya? Apakah marah atau tidak terima atau membela anakku? Syukurlah aku sudah siap dengan semua itu, aku hanya tersenyum mendengar penjelasan gurunya itu dan tak memedulikan sedikitpun akan nilai rapornya. 
 
Pengalaman tersebut membuatku sangat selektif dalam mencari sekolah (baca:guru).  Bukan sekolah yang nomor satu, bukan sekolah dengan fasilitas mewah, bukan sekolah dengan bayaran wah. Aku mencari sekolah yang gurunya ramah, bisa diajak sharing, menerima masukan dan yang terpenting adalah metode belajar yang digunakan guru dan sekolah tersebut. Jadi yang kusurvey bukan sekolahnya, melainkan guru dan kepala sekolahnya. Aku berbicara dengan mereka, mencari tahu metode yag diguakan dan tanggapan mereka atas gaya belajar anakku.  

Kita akan mendapatkan apa yang kita cari. Akupun mendapatkan TK yang cocok dengan kriteriaku itu. Bukan TK yang mahal, tidak bergengsi tidak juga megah. Hanya TK biasa yang sederhana dengan biaya yang bersahaja. Sayang TK tersebut akhirnya tutup karena pemilik yang juga Kepala Sekolahnya meninggal dunia. Begitupun ketika memilihkan SD untuk Syahdu hingga aku mendapatkan SD Islam swasta dengan konsep ramah pada anak. Tidak banyak buku, tidak selalu duduk di kelas dan yang paling penting ialah gurunya memahami keunikan setiap anak. Masih kuingat di bulan awal masuk sekolah, Syahdu hampir selalu pulang terlambat karena dihukum. Tapi dia tidak pernah merasa minder, dia mampu memahami kalau dia dihukum karena kesalahannya. Hingga akhirnya dia tak lagi mendapat hukuman. 

Yang sangat berkesan saat mengambil rapornya di semester pertama itu gurunya menyampaikan bahwa awalnya ia menyangka Syahdu sulit mereima pelajaran karena suka berkeliling di kelas. Tapi ketika diberi pertanyaan ternyata Syahdu mampu menjawabnya dengan baik. Dia tidak hanya memiliki daya tangkap yang baik tapi juga daya ingat yang cukup kuat. Nyesss...rasanya seperti minum air dingin disaat cuaca terik. Kalau saja gurunya perempuan pasti sudah kupeluk saking bahagianya. Alhamdulillah, Syahdu mendapatkan guru yang mampu mengerti dirinya. Tak hanya itu, Pak Guru juga menceritakan proses pembelajaran dalam hal mengatur ketertiban Syahdu di kelas. Pak guru merasa cukup puas dengan respon yang diberikan Syahdu. Ia mulai memahami peraturan kelas dan tidak banyak melanggar tata tertib kecuali sedikit, yah namanya juga anak laki-laki. Hingga prestasi Syahdu terus meningkat, dia termasuk anak yang menonjol di kelas karena kemampuannya membaca jauh leih baik dari teman-temannya. Ya ampun jangan ditanya soal betapa terharunya aku melihat kertas ulangan dengan nilai seratus kala itu. Anakku yang baru berusia enam tahun sudah bisa menjawab soal pilihan ganda dengan benar tanpa bantuan gurunya. It’s really amazing for me, kids are amazing! 

Kelas 1 dan kelas 2 nilai-nilainya selalu dihiasi angka sembilan puluh dan bahkan seratus. Aku rajin meng-upload ke facebook sebagai tanda banggaku kepadanya. Kemudian kini di kelas 3, aku mendapati kenyataan yang tak sebaik keadaan yang lalu. Sistem yang berubah dari sekolah yang tadinya 20 orang/kelas menjadi 30 orang/kelas, meski dengan dua orang guru, sedikit banyak merubah kenyamanan. Entah mengapa aku merasa anakku kurang perhatian. Betapa terkejutnya ketika kutemukan nilai enam puluh, lima puluh dan tiga puluh pada buku latihannya. Hanya latihan biasa memang. Ada  soal-soal yang terlewat olehnya, tak terisi sehinggi tak mendapat nilai. Akupun mengambil sikap, aku harus membantunya belajar. Sejak malam itu aku selalu mengajarkannya pelajaran yang akan diajarkan gurunya esok. Sepuluh menit untuk lima halaman. Syahdu memiliki daya tangkap yang baik. Dan hari-hari esoknya dia selalu pulang dengan ceria sembari memegang buku latihannya, “Bunda, tadi aku dapat seratus!” kadang-kadang hanya sembilan puluh karena dia agak ceroboh. Tapi aku memakluminya. Ketika Ulangan Akhir Semester datang kami tetap belajar bersama. Aku memotivasinya agar giat belajar agar dapat memerikan kebanggan bagi Eyangnya. Aku harus memberinya motivasi demikian karena cara itu ampuh membuatnya giat belajar.

Lalu rangking berapa dan bagaimana hasil nilai rapornya? Nilainya memang tak sebaik sewaktu kelas 1 dan 2. Tapi nilai-nilainya masih di atas 85. Yang mengejutkan Syahdu mendapat 91 untuk pelajaran PAI yang notabene kami belajar tanpa buku (gurunya lupa memesankan bukunya).  Kuakui ada rasa tak puas, ada uneg-uneg yang ingin kusampaikan pada gurunya. Tentang nilai-nilai latihannya yang semakin membaik, tentang kurangnya perhatian dari guru dan lain-lain. Tapi kucukupkan dengan mengingat kebersamaan kami yang menyenangkan. Syahdu telah melalui proses yang baik dan memuaskan. Hasil hanyalah angka-angka bukan penentu segalanya. Ayahnya pun berseloroh, “tenanglah bunda, ijazah SD ini tak akan terpakai buat melamar kerja” Ya memang perjalanan kami masih panjang, masih perlu perjuangan untuk sampai kesana meraih cita-cita setinggi langit. Bunda berjanji akan menemanimu sampai disana. insyaAllah. 

Di lembaran terakhir dari rapornya ada penjelasan-penjelasan yang membuatku dan ayahnya tersenyum-senyum. Ia mendapatkan nilai sangat baik untuk ikhtiar, inisiatif, ide dan aku tahu tentang kejujuran. Aku yakin dia mengerjakan soal-soal itu penuh percaya diri dengan kemampuannya sendiri. Yang juga membanggakan nilai ekskul desain grafisnya A! Ya iyalah anak master web desain Hohohoho...

1 komentar:

  1. Memang, rasanya bahagia banget kalau mendapatkan guru yang sesuai dengan kriteria kita :)

    Good luck ya Nada, Syahdu, dan umminya ^_^

    BalasHapus

Komentar baik berupa kritik maupun apresiasi baik yang sopan amat saya nantikan, terima kasih telah singgah di blog ini :)

Share