Pagi-pagi aku sudah bersiap untuk mengambil rapor Syahdu. Sengaja datang lebih awal pukul 7.45 agar dapat leluasa sharing dengan wali kelasnya. Begitulah aku selalu bersemangat untuk
mengambil rapor anak-anakku. Bukannya karena aku yakin nilai-nilai mereka pasti
bagus atau demi mendengar pujian dari guru-gurunya. Aku merasa beruntung diberi
kesempatan menyelami dunia pendidikan sebagai guru dan banyak mendapatkan
pencerahan mengenai pendidikan anak. Aku juga beruntung bahwa sebagai guru
paruh waktu masih bisa menemani anak-anakku belajar sehingga dapat memahami
kemampuan tumbuh kembang mereka.
Masih kuingat dengan jelas momen pertama kali mengambil rapor putra sulungku itu yaitu ketika ia masih belajar bersekolah di sebuah TPA saat usianya masih menginjak 2,5 tahun. Memang aku tak dapat berharap banyak kepada seorang
guru TPA yang mungkin masih berpikiran konvensional. Konvensional dalam artian
bahwa murid yang baik harus selalu duduk manis mendengarkan ibu guru dan atau
mengerjakan tugas dengan rapi. Dan aku juga menyadari bahwa Syahdu termasuk
anak yang suka bergerak. Hal ini juga dikuatkan dengan hasil tes sidik jari
(gratisan loh) yang menyatakan bahwa gaya belajar Syahdu bersifat Visual
kinestetis.
Pantaslah demikian, karena
nyatanya Syahdu memang lebih mudah menerima pelajaran melalui gambar, video
maupun tulisan di papan tulis ketimbang jika hanya mendengarkan gurunya
berbicara. Dalam geraknya yang terlihat
tak bisa diam ternyata ia mampu menangkap pelajaran yang dimaksud. Tapi
kelebihannya itu baru ditemukan oleh guru SD nya di kelas 1.
Apa yang terjadi pada pengambilan rapor pertama
kali di TPA? Aku sungguh tak berharap pujian karena bagiku TPA hanyalah sebagai
sarana Syahdu untuk belajar bersekolah mengingat usianya yang masih terlalu dini kala itu. Gurunya menyampaikan kalau anakku
yang sudah tahu huruf sejak usia dua tahun itu, masih sulit untuk
berkonsentrasi. Nilainya pun hanya berkisar dua huruf, C dan D. Tebak apa yang
aku katakan kepada gurunya? Apakah marah atau tidak terima atau membela anakku?
Syukurlah aku sudah siap dengan semua itu, aku hanya tersenyum mendengar penjelasan
gurunya itu dan tak memedulikan sedikitpun akan nilai rapornya.
Pengalaman tersebut membuatku
sangat selektif dalam mencari sekolah (baca:guru). Bukan sekolah yang nomor satu, bukan sekolah
dengan fasilitas mewah, bukan sekolah dengan bayaran wah. Aku mencari sekolah
yang gurunya ramah, bisa diajak sharing, menerima masukan dan yang terpenting
adalah metode belajar yang digunakan guru dan sekolah tersebut. Jadi yang
kusurvey bukan sekolahnya, melainkan guru dan kepala sekolahnya. Aku berbicara
dengan mereka, mencari tahu metode yag diguakan dan tanggapan mereka atas gaya
belajar anakku.
Kita akan mendapatkan apa yang
kita cari. Akupun mendapatkan TK yang cocok dengan kriteriaku itu. Bukan TK
yang mahal, tidak bergengsi tidak juga megah. Hanya TK biasa yang sederhana
dengan biaya yang bersahaja. Sayang TK tersebut akhirnya tutup karena pemilik
yang juga Kepala Sekolahnya meninggal dunia. Begitupun ketika memilihkan SD
untuk Syahdu hingga aku mendapatkan SD Islam swasta dengan konsep ramah pada
anak. Tidak banyak buku, tidak selalu duduk di kelas dan yang paling penting
ialah gurunya memahami keunikan setiap anak. Masih kuingat di bulan awal masuk
sekolah, Syahdu hampir selalu pulang terlambat karena dihukum. Tapi dia tidak
pernah merasa minder, dia mampu memahami kalau dia dihukum karena kesalahannya.
Hingga akhirnya dia tak lagi mendapat hukuman.
Yang sangat berkesan saat
mengambil rapornya di semester pertama itu gurunya menyampaikan bahwa awalnya
ia menyangka Syahdu sulit mereima pelajaran karena suka berkeliling di kelas.
Tapi ketika diberi pertanyaan ternyata Syahdu mampu menjawabnya dengan baik.
Dia tidak hanya memiliki daya tangkap yang baik tapi juga daya ingat yang cukup
kuat. Nyesss...rasanya seperti minum air dingin disaat cuaca terik. Kalau saja
gurunya perempuan pasti sudah kupeluk saking bahagianya. Alhamdulillah, Syahdu
mendapatkan guru yang mampu mengerti dirinya. Tak hanya itu, Pak Guru juga
menceritakan proses pembelajaran dalam hal mengatur ketertiban Syahdu di kelas.
Pak guru merasa cukup puas dengan respon yang diberikan Syahdu. Ia mulai
memahami peraturan kelas dan tidak banyak melanggar tata tertib kecuali
sedikit, yah namanya juga anak laki-laki. Hingga prestasi Syahdu terus
meningkat, dia termasuk anak yang menonjol di kelas karena kemampuannya membaca
jauh leih baik dari teman-temannya. Ya ampun jangan ditanya soal betapa
terharunya aku melihat kertas ulangan dengan nilai seratus kala itu. Anakku
yang baru berusia enam tahun sudah bisa menjawab soal pilihan ganda dengan
benar tanpa bantuan gurunya. It’s really amazing for me, kids are amazing!
Kelas 1 dan kelas 2
nilai-nilainya selalu dihiasi angka sembilan puluh dan bahkan seratus. Aku
rajin meng-upload ke facebook sebagai tanda banggaku kepadanya. Kemudian kini
di kelas 3, aku mendapati kenyataan yang tak sebaik keadaan yang lalu. Sistem
yang berubah dari sekolah yang tadinya 20 orang/kelas menjadi 30 orang/kelas, meski dengan dua orang guru, sedikit banyak merubah kenyamanan.
Entah mengapa aku merasa anakku kurang perhatian. Betapa terkejutnya ketika
kutemukan nilai enam puluh, lima puluh dan tiga puluh pada buku latihannya.
Hanya latihan biasa memang. Ada
soal-soal yang terlewat olehnya, tak terisi sehinggi tak mendapat nilai.
Akupun mengambil sikap, aku harus membantunya belajar. Sejak malam itu aku
selalu mengajarkannya pelajaran yang akan diajarkan gurunya esok. Sepuluh menit
untuk lima halaman. Syahdu memiliki daya tangkap yang baik. Dan hari-hari
esoknya dia selalu pulang dengan ceria sembari memegang buku latihannya,
“Bunda, tadi aku dapat seratus!” kadang-kadang hanya sembilan puluh karena dia
agak ceroboh. Tapi aku memakluminya. Ketika Ulangan Akhir Semester datang kami
tetap belajar bersama. Aku memotivasinya agar giat belajar agar dapat memerikan
kebanggan bagi Eyangnya. Aku harus memberinya motivasi demikian karena cara itu
ampuh membuatnya giat belajar.
Lalu rangking berapa dan
bagaimana hasil nilai rapornya? Nilainya memang tak sebaik sewaktu kelas 1 dan
2. Tapi nilai-nilainya masih di atas 85. Yang mengejutkan Syahdu mendapat 91
untuk pelajaran PAI yang notabene kami belajar tanpa buku (gurunya lupa
memesankan bukunya). Kuakui ada rasa
tak puas, ada uneg-uneg yang ingin kusampaikan pada gurunya. Tentang
nilai-nilai latihannya yang semakin membaik, tentang kurangnya perhatian dari
guru dan lain-lain. Tapi kucukupkan dengan mengingat kebersamaan kami yang
menyenangkan. Syahdu telah melalui proses yang baik dan memuaskan. Hasil
hanyalah angka-angka bukan penentu segalanya. Ayahnya pun berseloroh, “tenanglah
bunda, ijazah SD ini tak akan terpakai buat melamar kerja” Ya memang perjalanan
kami masih panjang, masih perlu perjuangan untuk sampai kesana meraih cita-cita
setinggi langit. Bunda berjanji akan menemanimu sampai disana. insyaAllah.
Di lembaran terakhir dari
rapornya ada penjelasan-penjelasan yang membuatku dan ayahnya tersenyum-senyum. Ia mendapatkan nilai sangat baik untuk ikhtiar, inisiatif, ide dan aku tahu
tentang kejujuran. Aku yakin dia mengerjakan soal-soal itu penuh percaya diri
dengan kemampuannya sendiri. Yang juga membanggakan nilai ekskul desain
grafisnya A! Ya iyalah anak master web desain Hohohoho...
Memang, rasanya bahagia banget kalau mendapatkan guru yang sesuai dengan kriteria kita :)
BalasHapusGood luck ya Nada, Syahdu, dan umminya ^_^