2013-04-28

Diary: Menjadi Guru (part 1)

Menjadi guru bukanlah cita-citaku sejak awal. Kalau diingat-ingat sampai memeras otak, belum pernah sekalipun aku berkata akan menjadi guru setiap kali ditanya tentang cita-cita, baik ketika usia TK hingga SMA. Cita-cita yang pernah kuharapkan adalah menjadi dokter, menteri pemberdayaan perempuan, menteri sosial dan detektif (waw!). Terus gimana bisa jadi guru?? Gara-garanya sewaktu SMA dulu aku pernah diajak teman untuk membantu mengajar di Masjid. Bukan mengajar mengaji, tapi mengajar Bahasa Inggris, maklum nilai bahasa Inggrisku terbilang paling lumayan diantara teman-teman (ehem). Nah dari situ rupanya bapakku mengira bakatku mengajar, jadilah aku dicemplungnya mengajara beneran di sebuah sekolah swasta milik seorang kerabat. Jadilah aku mengajar sembari kuliah. Lucunya aku ini baru saja lulus SMA, eh tau-tau disuruh ngajar anak SMP yang beda usianya cuma sekitar 5-6 tahun saja. Ah untung saja mereka tidak tahu dan tidak ambil pusing soal gurunya yang masih unyu-unyu itu. Yang mereka tahu, bu gurunya cantik dan masih muda (gerrr). Lagi-lagi aku diminta mengajar Bahasa Inggris yang memang masih kosong. Meskipun sekolah itu adalah sekolah baru dengan jumlah murid yang tidak banyak, kurang dari 20 siswa, tapi menjadikan pengalaman berharga banget buatku. Gajinya juga tidak besar, tapi buat anak kuliahan yang masih disubsidi orang tua hal itu gak jadi masalah buatku. diantara guru yang lain aku tentu saja guru paling muda. Ini membuatku sempat minder. Tapi untung saja aku termasuk memiliki PD yang cukup besar. Apalagi disana aku diakui sebagai cucu dari pemilik sekolah yang dipercaya sebagai bendahara. 

Nasib sekolah-sekolah baru seperti ini biasanya adalah kurang perhatian Kepala Sekolah. Kepala Sekolah yang memang merangkap jabatan di tempat lain datang hanya seminggu sekali di hari Sabtu. Ya... aku sih gak nyalahin Kepsek kku itu, berhubung gajinya memang hanya sepadan untuk satu hari itu, dan beliau tidak pernah mau mengambil gajinya. Ketua yayasan yang aku panggil eyang menurutku cukup royal terhadap guru-guru. Bangunan sekolah ini pun terbilang cukup lumayan. Lantai kelasnya berkeramik dan sudah menggunaan whiteboard. Pada tahun 2001, masih sangat sedikit yang seperti ini. Namun manajemen dan teknik pemasaran yang salah mengakibatkan sekolah ini jatuh pada kebangkrutan. Guru-guru yang direkrut kebanyakan adalah warga sekitar, sebenarnya sih baik juga jadinya kan ngirit ongkos. Hanya saja kebanyakan dari mereka cuma mikirin duitnya aja. Sebagai bendahara tentu aku tahu betul. Bagiku mereka bagaikan tikus-tikus yang menggerogoti sekolah ini sedikit demi sedikit. Kemudian aku baru menyadari bahwa kami telah melakukan pemasaran yang salah. Jadi, ternyata (sebelum aku datang di sekolah ini), mereka merekrut siswa dengan cara menjemput dan diiming-imingi sekolah gratis, jemputan gratis plus snack gratis pula. Ide gila darimana ya??!  Sampai sekarang aku masih ga habis pikir ada yang ngasih ide kayak gitu. Jadilah sekolah ini dianggap sekolah gratisan yang kebanyakan siswanya adalah anak-anak tidak/kurang mampu. 

Masalahnya bukan ekonominya juga, tapi mereka adalah anak-ana yang minat belajarnya amat rendah. Lihat saja, sering sekali mereka alpa dan tak sedikit yang keluar sekolah di pertengahan jalan karena memilih bekerja atau menikah di usia muda. Setiap kenaikan kelas, aku dan beberapa guru datang ke rumah setiap anak memastikan mereka tetap bersekolah. Tapi itulah perjuangan menjadi seorang guru, hasilnya baru keliahatan sekian tahun kemudian. Ada rasa bangga menyelip di dadaku ketika tahu murid-muridku berhasil bekerja cukup baik. Untung saja mereka tetap bersekolah kan?

 Tahun demi tahun tidak banyak perubahan berarti. Apalagi yayasan tidak dapat memberikan beasiswa penuh seperti sebelumnya. Akhirnya banyak anak yang menunggak SPP dan Yayasan menombok sekian juta rupiah untuk gaji guru dan biaya operasional. Aku kasihan sekali sebenarnya sama eyangku itu, tapi aku yang masih terlalu muda ini juga tak mampu berbuat banyak. apalagi eyang juga banyak dipengaruhi masukan-masukan negatif dari guru lainnya. Beberapa kali eyang kena tipu oleh mereka hingga sebagian dari mereka akhirnya dikeluarkan secara tidak hormat dari sekolah.  Aku juga sudah tidak sanggup menjadi bendahara yang banyak dituding ini itu oleh sebagian guru. Sebagai orang kepercayaan eyang seringkali aku menjadi orang yang di-iri-kan sejagat sekolah. Soal pembelian komputer, seragam sekolah anak-ana saja bisa jadi masalah. Padahal maksudku ini baik, aku mencoba membantu menekan biaya dan tidak mengambil keuntungan. Tapi rupanya ada pihak yang merasa dirugikan akibat jobnya diambil alih olehku. Akupun merasa tertekan dan menangis. Sampai akhirnya aku lulus kuliah dan memilih bekerja di tempat lain. Kerja beneran, kata ibuku. Rupanya mengajar di sekolah itu bukan bekerja dianggapnya. Mungkin karena kebanyakan sedekahnya daripada gajinya :) Inilah awal kisahku mengajar.

2 komentar:

  1. Aku jg pengen jd guru mba.tp guru tk.kyknya enak ya.tp kalo ga digaji????? Xixixi

    Windi teguh

    BalasHapus
  2. Aku jg pengen jd guru mba.tp guru tk.kyknya enak ya.tp kalo ga digaji????? Xixixi

    Windi teguh

    BalasHapus

Komentar baik berupa kritik maupun apresiasi baik yang sopan amat saya nantikan, terima kasih telah singgah di blog ini :)

Share