Untuk menetapi kebenaran dan kesabaran adalah masalah ikhlas.
Ikhlas merupakan rahasia (diterimanya) ibadah. Kita sering melihat amalan seseorang yang begitu tekun, begitu bersungguh–sungguh, baik dalam mengeluarkan shadaqah atau pun infak akan tetapi itu semua jadi bumerang baginya (tidak mendapatkan pahala). Alloh Jalla Jalaluhu berfirman :
“Artinya : Dan kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan.” [Al–Furqan : 23]
Setiap amalan yang tidak ikhlas, bukan saja amalan tersebut tidak bermanfaat bagi pelakunya tetapi juga menjadi bencana dan bahaya yang akan menimpa pelakunya. Alloh Ta’a la berfirman :
“Artinya : Padahal mereka tidak disuruh kecuali menyembah Alloh dengan memurnikan ketaatan kepadaNya (dalam menjalankan agamaNya dengan lurus)" [Al–Bayyinah : 5]
Ikhlas merupakan cahaya yang memberikan petunjuk dan menyinari pelakunya menuju jalan keselamatan serta mendekatkan diri kepada Alloh Jalla jalaluhu.
Untuk mewujudkan keikhlasan membutuhkan ketekunan, kesabaran serta kesungguhan, sebab menanamkan keikhlasan bukanlah perkara yang mudah karena setan selalu mengawasi gerak–gerik manusia. Alloh Jalla Jalaluhu berfirman.
“Artinya : Iblis menjawab : “Demi kekuasaan Engkau aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba–hambaMu yang mukhis di antara mereka.” [As–Shad : 82–82]
Yang dinamakan mukhlis adalah orang yang dikokohkan keikhlasan dan kemurnian niatnya serta kesucian hatinya menuju Rabbul Bariyyah, Yang Maha Mulia dalam ketinggian serta Agung, berada di atas ‘Arsy). Alloh Jalla Jalaluhu berfirman :
“Artinya : Dan orang–orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami benar–benar akan tunjukkan jalan–jalan tersebut" [Al–Ankabut : 69]
Perjalanan hidup manusia dalam beramal, kadang kala diliputi oleh rasa ikhlas dan jujur untuk melawan tipu daya setan ; yang mana (setan) tersebut selalu menghiasi amalannya yang tidak ikhlas dibuat seperti amalan yang ikhlas.
Demikian juga sebaliknya kadang kala setan menghiasi amalan orang yang ikhlas dibuat seperti amalan orang yang tidak ikhlas sehingga membuat dia berhenti dari beramal dan tidak beristiqomah.
Oleh karena itu, orang yang benar–benar memiliki kejujuran (dalam beribadah) kepada Alloh Jalla Jalaluhu, akan tetapi konsisten dalam beramal dan mampu menghalau tipu daya setan dengan melawan kecenderungan hawa nafsunya yang selalu mengarah kepada kejelekan. Sebagaimana sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam dalam hadits qudsi, Alloh Jalla Jalaluhu berfirman
“Artinya : Aku sesuai dengan persangkaan hambaKu terhadap diriKu [HR. Bukhari 7405 Muslim 6952 ; bersumber dari Abu Hurairah Rhadhiallahu ‘anhu]
Maka berprasangka baiklah kepada Alloh Jalla Jalaluhu dan peruntukkanlah semua amal kebaikanmu hanya kepada Alloh Jalla Jalaluhu semata. Perangilah was–was setan dan hawa nafsumu, niscaya Alloh Jalla Jalaluhu akan menolongmu.
Kedua
Perihal “berpegang teguh kepada Sunnah Nabi Shalallahu ‘alaihi wa salam yang suci lagi mulia” dan hal itu merupakan salah satu syarat diterimanya amal seorang hamba, karena amal tidak akan diterima kecuali memenuhi dua syarat, sebagaimana seekor burung tidak akan terbang kecuali dengan dua sayap.
Syarat yang pertama adalah Ikhlas adapun syarat kedua adalah ittiba’ (mengikuti Sunnah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam), kedua syarat tersebut merupakan wujud realisasi dari kalimat syahadah “Laa ilaaha illallah Muhammad Rasulullah”
Adapun maknanya adalah “laa ma’buuda bihaqqin illalloh” (tidak ada sesembahan yang benar kecuali Alloh Jalaalahu) dan kalimat “Muhammad Rasulullah” adalah “Laa matbuu’a bihaqqin illa Rasulullah” (tidak ada seorang pun yang patut diikuti kecuali Rasulullah).
Alloh Jalla Jalahu berfirman ketika menyifati diriNya :
“Artinya : Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya” [Al–Mulk : 2]
Berkata Fudhail Bin Iyadh : “Yang dimaksud dengan ‘ahsanu amalan’ adalah amalan yang paling ikhlas dan paling baik.” Mereka mengatakan : “Wahai Abu ‘Ali (ini merupakan kunyah beliau pada saat itu), apa yang dimaksud dengan amalan yang paling ikhlas dan paling baik ?” Beliau menjawab : “Amalan yang paling ikhlas adalah amalan yang diperuntukkan hanya kepada Alloh semata dan amalan yang paling baik adalah amalan yang sesuai dengan Sunnah Rasulullah.”
Sunnah yang mulia ini merupakan petunjuk menuju jalan Alloh yang lurus. Bagaimana tidak ? Alloh telah mengaitkan hidayah seorang hamba yang ia selalu minta kepadaNya pada setiap siang dan malam tidak kurang dari 17 kali tatkala ia mengucapkan’ ihdinash shirotol mustaqim’ (tunjukilah kami kepada jalan yang lurus) maka Alloh telah mengaitkan bukti wujud hidayah seorang hamba dengan mengikuti Sunnah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam dalam firmanNya :
“Artinya : Dan jika kalian menaatinya (Rasul) niscaya kalian akan mendapatkan hidayah” [An–Nur : 54]
Jika kalian mengikuti Sunnahnya, melaksanakan perintahnya dan menjadikannya sebagai suri tauladan maka kalian akan mendapatkan petunjuk dan keselamatan. Sungguh, Alloh telah berfirman dalam kitabNya :
“Artinya : Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Alloh dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Alloh” [Al–Ahzab : 21]
Oleh karena itu, Alloh mengaitkan bukti cinta terhadapNya dengan mencintai Rasulullah Sholallohu ‘alaihi wa salam dan mengaitkan seluruh kecintaan ini dalam bentuk mengikuti Sunnah Rasulullah. Alloh Jalla jalaluhu berfirman :
“Artinya : Jika kamu benar–benar mencintai Alloh maka ikutilah aku, niscaya Alloh akan mengasihimu” [Ali Imron : 1]
Inilah timbangan yang benar dalam hal kecintaan. Tidaklah bukti cinta kepada Rasulullah Shalallohu ‘alaihi wa salam hanya melibatkan perasaan semata, tanpa dibarengi dengan amalan yang benar serta ittiba’ yang kokoh.
Memang benar, cinta itu melibatkan perasaan dan harapan, akan tetapi seluruhnya tidak bernilai benar, kecuali dengan ber–qudwah dan mengikuti Rasululloh Shalallohu ‘alaihi wa salam sepenuhnya, sehingga bentuk kecintaan kita kepada Rasulullah Shalallohu ‘alaihi wa salam merupakan wujud kecintaan kita kepada Alloh, sedangkan cinta kepada Nabi Shalallohu ‘alaihi wa salam adalah dengan mengikuti Sunnahnya.
Ketiga.
Merupakan perkara yang sangat fundamental dan mendasar sekali, yaitu yang berkenaan dengan arti pentingnya ilmu, bagaimana antusias kita dalam menuntutnya, mengamalkannya, serta mendakwahkannya.
Pada dasarnya, setiap hamba muslim adalah da’i menuju Alloh, sehingga seluruh kehidupannya dicurahkan untuk memurnikan keikhlasan kepada Alloh dan berittiba’ kepada Rasulullah Shalallohu ‘alaihi wa salam kesemuanya itu tidak akan terwujud kecuali dengan adanya ilmu, belajar dan mengajar. Ibnu Hajar telah menjelaskan hadits pertama dari Shahih Bukhari yang berbunyi.
“Artinya : Sesungguhnya amal perbuatan tergantung pada niatnya dan seseorang akan mendapatkan apa yang ia niatkan” [HR. Bukhari 1, bersumber dari Umar Bin Khaththab]
Beliau menjelaskan, hadist ini merupakan dalil yang yang menunjukkan bahwa ilmu itu mendahului niat. Kalau engkau tidak mengetahui apa yang akan engkau katakan atau yang akan engkau kerjakan, bagaimana engkau bisa memurnikan dan membedakan niat ? Hal itu dikuatkan dengan firman Alloh :
“Artinya : Ketahuilah bahwa tidak illah yang haq disembah melainkan Alloh, maka mohonlah ampunan bagi dosamu” [Muhammad : 19]
Al–Imam Bukhari menjadikan ayat ini pada salah satu bab dalam kitab Shahihnya. Beliau berkata “Bab Ilmu sebelum berkata dan berbuat”, kemudian beliau mengomentari ayat tersebut : “Maka Alloh Jalla Jalaluhu telah memulai dengan ilmu sebelum berucap dan beramal.”
Berilmulah, wahai saudaraku ! Dan jadikanlah tujuan kalian dalam menuntut ilmu, mencari keridhaan Alloh Jalla Jalaluhu, jujur dan kembali kepadaNya. Janganlah engkau jadikan tujuan menuntut ilmu dalam rangka membantah ulama, menonjolkan diri dalam majelis, bersaing dan pamer kepada khalayak ramai. Rasulullah Shalallohu ‘alaihi wa salam bersabda.
“Arrtinya : Barang siapa menuntut ilmu untuk membodohi orang, atau menantang para ulama, atau mencari perhatian manusia, maka dia masuk neraka” [Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Muqaddimah 253, dan dishahihkan Al–Albani lihat Al–Misykat 225–226 ; bersumber dari sahabat Ibnu Umar Rhadiyallahu ‘anhu]
Hadits ini merupakan peringatan keras bagi orang yang tidak ikhlas dalam menuntut ilmu, serta tujuannya dalam menuntut ilmu tidak dalam rangka mencari keridhoan Alloh Jalla Jalaluhu.
Sebagaimana yang telah saya sampaikan sebelumnya, bahwa syetan selalu mengintai dan membisikkan kepadamu untuk tidak berbuat ikhlas kepada Alloh Jalla Jalaluhu, maka janganlah engkau menggubrisnya dan upayakanlah dirimu untuk senantiasa ikhlas dalam segala hal, utamanya menuntut ilmu, oleh karena itu teruslah menuntut ilmu !.
Berkata Sufyan Ats–Tsauri : “Dulu kami menuntut ilmu untuk selain Alloh tetapi ilmu itu enggan kecuali hanya untuk Alloh Jalla Jalaluhu.” Maknanya, jiwa itu selalu memiliki tuntutan serta keinginan, terlebih lagi ketika menginjak usia muda dan memasuki usia remaja, jiwa ini memiliki keinginan dan dorongan yang sangat kuat untuk melakukan berbagai macam perkara sesuai dengan kadar kejahilannya, atau ilmu yang dimiliki serta keikhlasan kepada Rabbnya serta keikhlasan kepada Rabbnya serta rasa ittiba’nya kepada Rasulullah Shalallohu ‘alaihi wa salam.
[Disalin dari Majalah Al-Furqon Edisi 8 Tahun V/Rabi’ul Awwal 1427H/April 2006. Dengan Judul Nasehat Syaikh Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari Hafizhahullah. Penerbit Lajnah Dakwah Ma’had Al-Furqon, Alamat Maktabah Ma’had Al-Furqon, Srowo Sidayu Gresik Jatim 61153, Judul artikel oleh Redaksi Almanhaj]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar baik berupa kritik maupun apresiasi baik yang sopan amat saya nantikan, terima kasih telah singgah di blog ini :)