2013-04-28

Diary: Menjadi Guru (part 1)

Menjadi guru bukanlah cita-citaku sejak awal. Kalau diingat-ingat sampai memeras otak, belum pernah sekalipun aku berkata akan menjadi guru setiap kali ditanya tentang cita-cita, baik ketika usia TK hingga SMA. Cita-cita yang pernah kuharapkan adalah menjadi dokter, menteri pemberdayaan perempuan, menteri sosial dan detektif (waw!). Terus gimana bisa jadi guru?? Gara-garanya sewaktu SMA dulu aku pernah diajak teman untuk membantu mengajar di Masjid. Bukan mengajar mengaji, tapi mengajar Bahasa Inggris, maklum nilai bahasa Inggrisku terbilang paling lumayan diantara teman-teman (ehem). Nah dari situ rupanya bapakku mengira bakatku mengajar, jadilah aku dicemplungnya mengajara beneran di sebuah sekolah swasta milik seorang kerabat. Jadilah aku mengajar sembari kuliah. Lucunya aku ini baru saja lulus SMA, eh tau-tau disuruh ngajar anak SMP yang beda usianya cuma sekitar 5-6 tahun saja. Ah untung saja mereka tidak tahu dan tidak ambil pusing soal gurunya yang masih unyu-unyu itu. Yang mereka tahu, bu gurunya cantik dan masih muda (gerrr). Lagi-lagi aku diminta mengajar Bahasa Inggris yang memang masih kosong. Meskipun sekolah itu adalah sekolah baru dengan jumlah murid yang tidak banyak, kurang dari 20 siswa, tapi menjadikan pengalaman berharga banget buatku. Gajinya juga tidak besar, tapi buat anak kuliahan yang masih disubsidi orang tua hal itu gak jadi masalah buatku. diantara guru yang lain aku tentu saja guru paling muda. Ini membuatku sempat minder. Tapi untung saja aku termasuk memiliki PD yang cukup besar. Apalagi disana aku diakui sebagai cucu dari pemilik sekolah yang dipercaya sebagai bendahara. 

Nasib sekolah-sekolah baru seperti ini biasanya adalah kurang perhatian Kepala Sekolah. Kepala Sekolah yang memang merangkap jabatan di tempat lain datang hanya seminggu sekali di hari Sabtu. Ya... aku sih gak nyalahin Kepsek kku itu, berhubung gajinya memang hanya sepadan untuk satu hari itu, dan beliau tidak pernah mau mengambil gajinya. Ketua yayasan yang aku panggil eyang menurutku cukup royal terhadap guru-guru. Bangunan sekolah ini pun terbilang cukup lumayan. Lantai kelasnya berkeramik dan sudah menggunaan whiteboard. Pada tahun 2001, masih sangat sedikit yang seperti ini. Namun manajemen dan teknik pemasaran yang salah mengakibatkan sekolah ini jatuh pada kebangkrutan. Guru-guru yang direkrut kebanyakan adalah warga sekitar, sebenarnya sih baik juga jadinya kan ngirit ongkos. Hanya saja kebanyakan dari mereka cuma mikirin duitnya aja. Sebagai bendahara tentu aku tahu betul. Bagiku mereka bagaikan tikus-tikus yang menggerogoti sekolah ini sedikit demi sedikit. Kemudian aku baru menyadari bahwa kami telah melakukan pemasaran yang salah. Jadi, ternyata (sebelum aku datang di sekolah ini), mereka merekrut siswa dengan cara menjemput dan diiming-imingi sekolah gratis, jemputan gratis plus snack gratis pula. Ide gila darimana ya??!  Sampai sekarang aku masih ga habis pikir ada yang ngasih ide kayak gitu. Jadilah sekolah ini dianggap sekolah gratisan yang kebanyakan siswanya adalah anak-anak tidak/kurang mampu. 

Masalahnya bukan ekonominya juga, tapi mereka adalah anak-ana yang minat belajarnya amat rendah. Lihat saja, sering sekali mereka alpa dan tak sedikit yang keluar sekolah di pertengahan jalan karena memilih bekerja atau menikah di usia muda. Setiap kenaikan kelas, aku dan beberapa guru datang ke rumah setiap anak memastikan mereka tetap bersekolah. Tapi itulah perjuangan menjadi seorang guru, hasilnya baru keliahatan sekian tahun kemudian. Ada rasa bangga menyelip di dadaku ketika tahu murid-muridku berhasil bekerja cukup baik. Untung saja mereka tetap bersekolah kan?

 Tahun demi tahun tidak banyak perubahan berarti. Apalagi yayasan tidak dapat memberikan beasiswa penuh seperti sebelumnya. Akhirnya banyak anak yang menunggak SPP dan Yayasan menombok sekian juta rupiah untuk gaji guru dan biaya operasional. Aku kasihan sekali sebenarnya sama eyangku itu, tapi aku yang masih terlalu muda ini juga tak mampu berbuat banyak. apalagi eyang juga banyak dipengaruhi masukan-masukan negatif dari guru lainnya. Beberapa kali eyang kena tipu oleh mereka hingga sebagian dari mereka akhirnya dikeluarkan secara tidak hormat dari sekolah.  Aku juga sudah tidak sanggup menjadi bendahara yang banyak dituding ini itu oleh sebagian guru. Sebagai orang kepercayaan eyang seringkali aku menjadi orang yang di-iri-kan sejagat sekolah. Soal pembelian komputer, seragam sekolah anak-ana saja bisa jadi masalah. Padahal maksudku ini baik, aku mencoba membantu menekan biaya dan tidak mengambil keuntungan. Tapi rupanya ada pihak yang merasa dirugikan akibat jobnya diambil alih olehku. Akupun merasa tertekan dan menangis. Sampai akhirnya aku lulus kuliah dan memilih bekerja di tempat lain. Kerja beneran, kata ibuku. Rupanya mengajar di sekolah itu bukan bekerja dianggapnya. Mungkin karena kebanyakan sedekahnya daripada gajinya :) Inilah awal kisahku mengajar.

2013-04-25

Mengisi pulsa praktis dan murah

Hampir semua kalangan di negeri ini memiliki handphone yang biasa disingkat HP. Pejabat, karyawan, guru, pelajar, supir angkot dan tukang bangunan sekalipun pasti punya HP. Maraknya penggunaan HP berimbas kepada naiknya pembelian pulsa. Pulsa menjadi nafas bagi HP, tak ada pulsa HP hampir tak ada fungsinya. Apalagi bagi guru sekaligus pedagang online seperti saya yang sangat memerlukan pulsa untuk menjalankan bisnis. Beberapa keadaan tak terduga bisa membuat pulsa kita mendadak habis. Misalnya saja seperti yang tampak pada gambar di bawah ini:

Gb. 1. Syahdu sedang menelepon

Tanpa saya ketahui, anak-anak sering memainkan HP saya. Menirukan gaya saya ketika sedang berbicara ditelepon atau berpura-pura hendak menelepon sang ayah. Begini kira-kira isi percakapannya,"halo bu, iya bu nanti diaplot gambarnya, saya bbm-in," Saya cuma bisa tertawa geli saja bila menangkap basah kelakuan anak saya ini. Tapi kelucuan itu pun berganti kecemasan ketika pulsa habis begitu saja disaat-saat yang diperlukan. Misalnya saat saya perlu untuk melakukan sms banking juga membalas pertanyaan calon pembeli.

Meskipun kini counter pulsa bertebaran bak jamur di musim penghujan, namun adakalanya saya sulit untuk mengisi pulsa, misalnya di siang hari ketika hujan lebat apalagi kalau sudah menjelang malam. Wah repot banget kalau mesti jalan ke counter pulsa terdekat yang jaraknya sekitar 300 meter dari rumah dan belum tentu buka. Dengan adanya pulsa elektrik yang dapat dikirim kapan saja  sangat membantu saya dalam mengisi pulsa. Saya tinggal mengirim sms kepada adik sepupu yang berjualan pulsa elektrik. Cara seperti ini bisa juga mengalami kebuntuan bila sepupu saya tersebut kehabisan saldo pulsa. Ah, untung saja sekarang ini ada cara mudah mengisi pulsa yaitu melalui PojokPulsa. Pulsa elektrik yang murah yang bisa dipesan melalui SMS, YM, GTalk dan kini melalui Facebook!! Waw, mudah bukan? Kita ga perlu khawatir kehabisan pulsa dengan adanya fasilitas yang disediakan pojokpulsa, pelopor pulsa murah berbasis web. Caranya bisa dilihat disini.

 


Postingan ini dalam rangka Lomba Blog Pojok Pulsa: Mau Pulsa Gratis? Follow: @pojoktweet | Facebook Page Pojok Pulsa | Pojok Pulsa Google Plus Page
Lomba Blog Pojok Pulsa 2013

2013-04-21

Menjadi Srikandi Pendidikan




Saya (nomor dua dari kanan, jilbab ungu) bersama rekan-rekan seminar

Sebagai seorang wanita yang juga seorang Ibu, kita perlu meningkatkan isi kepala dengan mengikuti berbagai seminar, talkshow, bedah buku maupun sekedar launching sebuah novel. Kegiatan-kegiatan tersebut akan memberikan wawasan bagi diri kita dan mempertemukan kita dengan kawan-kawan baru. Seperti sebuah kesempatan yang diberikan kepada saya untuk mengikuti Seminar Sosialisasi Akreditasi SMK se-Jawa Barat. Di dalam kegiatan ini dari 100 orang peserta hanya terdapat 7 perempuan saja yang tertulis dan hadir dalam kegiatan ini. Jabatan tambahan yang dipercayakan kepada saya sebagai Wakil Kepala Sekolah bidang Kurikulum memang mengharuskan saya untuk mengikuti kegiatan-kegiatan demikian. Ini hanyalah salah satu dari kegiatan saya yang sempat terdokumentasi.

Foto ini diikutsertakan pada Kontes Unggulan: Sehari Menjadi Srikandi

2013-04-19

Memilih Sekolah untuk Syahdu (ada tipsnya juga loh)

Aku tergelitik untuk menuliskan tema ini setelah banyak teman yang menanyakan pendapat  atau informasi seputar sekolah yang baik bagi anak-anak mereka. Sebagai seorang Ibu yang juga seorang guru, aku memiliki pendapat dan cara tersendiri dalam memilih sekolah. Dengan keterbatasan waktu dan tenaga yang kumiliki tentu saja aku akan lebih memilih sekolah yang dekat dengan rumah. Semenjak usia dua tahun Abang Syahdu sudah ingin sekali sekolah. Disebabkan tetangga teman mainnya kebanyakan anak berusia 2-3 tahun lebih tua darinya. Anak-anak itu bersekolah TK, sehingga abang jadi kesepian dan ingin sekolah. Meski saat itu abang sudah mengenal huruf abjad dan berhitung sampai dengan 10, menuruti kemauannya untuk segera bersekolah tetap harus dipertimbangkan. Well, aku ga mau abang hanya sekedar keinginan sesaat saja lantas bosan. Atau kengerian selanjutnya adalah kejemuan yang akan dihadapi si abang di usia Sekolah Dasar, intinya takut kelamaan di TK begitu. Sementara untuk memasukkan di playgroup juga pilihan yang sulit. TK terdekat dari rumah kami tidak memiliki playgroup. Kebanyakan adalah playgroup dengan biaya yang mahal (uang pangkal di atas 3 juta) dan cukup jauh. Lagipula, rasanya playgroup tidaklah terlalu penting bagi abang.

 Alhasil akupun memasukkannya di TPA yang berbasis di Masjid komplek. Bukan cuma sekedar murah meriah dan dekat, alasan lainnya aku ingin mengetahui sejauh mana anakku siap untuk sekolah, anggaplah belajar di TPA melatihnya bersosialisasi. Lokasi TPA yang berada di teras Masjid juga menjadi pilihan utamaku dengan harapan menumbuhkan kecintaan abang pada Masjid. dengan usianya yang masih muda itu abang termasuk anak yang tekun belajar dan mandiri. Tak sekalipun dia menangis atau mengambek saat mengaji. Empat bulan kemudian aku tertarik memasukkan abang ke Bimba AIUEO, waktu itu belum terkenal seperti saat ini. Dengan iming-iming kelas trial gratis selama 3x, akupun mengikutkan abang disana. Diluar dugaan, si abang betah banget, malah aku disuruhnya pulang alias ga boleh nungguin dia disana. Belajarnya memang cuma satu jam saja dengan waktu yang fleksibel bisa dipilih sesuai keinginan. Rasanya ini pilihan yang cukup tepat mengingat kesibukanku juga sebagai seorang guru. Jadi aku kan bisa tetap mengantar-jemput Syahdu sekolah, ini adalah salah satu keasyikan seorang Ibu. 

 Gb 1. salah satu kegiatan TPA, Pawai Ramadhan (lihat betapa cerianya dia :) )


Di usianya yang ke-4 aku mulai hunting TK. Syahdu telah memiliki bekal lumayan, bisa menulis, membaca dua suku kata, dan berhitung cukup lumayan, anaknya juga mandiri. Rasanya tidak perlu TK yang "wah" untuk mengasah kemampuannya sebagai loncatan menuju Sekolah Dasar. Pilihanku jatuh pada TK yang jaraknya sekitar 1km saja dari rumahku. Alasannya karena ternyata Kepala Sekolahnya adalah kenalan ibuku dan dari diskusi panjang beliau adalah seorang Kepala Sekolah yang  care dengan anak didiknya. Guru-gurunya juga ramah, bayarannya cukup murah tidak banyak menguras kantong. Yang paling penting, aku merasa aman bila Syahdu bersekolah disitu. Alhamdulillah, perkembangan kognitif Syahdu berkembang baik dan tidak ada masalah yang berarti selama bersekolah disana. 

Gb.2. Syahdu di tengah kawan-kawan TK
Gb.3. Salah satu kegiatan TK, PORSENI di Ancol
 
Nah, kembali hunting Sekolah Dasar. Selain hunting rumah, au paling suka hunting sekolah. Hunting SD ini sudah kulakukan setahun sebelumnya. Pilihanku adalah SD swasta Islam. Mengapa bukan SD Negeri? Bukan karena gengsi atau apa, SD Negeri sekarang ini kualitasnya jauh menurun dibadingkan jaman dahulu aku bersekolah. Meski dulu belum ada sertifikasi guru dan tunjangan ini itu guru SD memberikan dedikasi terbaiknya. Tidak seperti sekarang ini, guru SD negeri seakan malas mengajar. Menimpakan tugas dan tanggung jawabnya untuk mengajar membaca kepada guru  TK dan kurang perhatian terhadap anak didiknya. ditambah lagi aneka jajanan tidak sehat yang ada di sekitar SD Negeri, hiii serem. Yang tak kalah pentingnya, kenyataan bahwa SD Negeri belum ada yang memiliki keunggulan muatan pelajaran Islam semisal hapalan Qur'an. SDIT banyak tersebar di wilayah tempatku tinggal, namun SDIT yang terdekat terkenal dengan biaya pendidikannya yang semakin mahal saja. Sayangnya tidak diimbangi dengan keberadaan guru-guru yang loyal. Tak tanggung-tanggung uang pangkal 15 juta rupiah! Buat keluarga muda seperti kami dengan anak dua, tentunya harus berpikir panjang. Akupun berdoa agar kiranya ada sekolah baru yang tak jauuh kualitasnya dengan SDIT mahal tersebut. Alhamdulillah, berdasarkan informasi para tetangga, tersebutlah sebuah SDIT baru dengan biaya cukup terjangkau. SD ini telah menginjak tahun kedua, namun animo dari masyarakat begitu besar. Empat kelas yang dibuka (tiap kelas 20 anak). Untunglah masih jodoh, Syahdu terdaftar sebagai calon siswa urutan ke 78, nyaris saja. Uang pangkal 4 juta saja, dicicil sejak Januari- Juli. Lumayan bisa bernapas. Pendaftaran telah tutup sejak 22 Desember. syukurlah sekolah ini juga memiliki kelebihan tersendiri yang membedakannya dengan SDIT pendahulunya. Yaitu metode pembelajaran yang memadukan sekolah alam dengan sekolah biasa. Tadinya, aku tertarik sama sekolah alam, tapi pas lihat sekolahnya seperti apa dan ngobrol sama Kepala Sekolahnya, hatiku ga sreg.

Ada juga suami temanku yang begitu ingin memaksakan anaknya, yang barus berusia 2 tahun, untuk bersekolah di playgroup bergengsi. Uang masuk di atas 5 juta. Dengan alasan ingin memberikan pendidikan terbaik bagi anaknya. Hal seperti ini harus dipikirkan matang-matang, sebab anak lekas bosan, saya khawatir di usia seperti itu kemudian dengan bayaran yang mahal, maka yang ada orang tua akan sulit men-toleransi anak bila suatu saat ia mogok sekolah. Dengan dalih telah membayar biaya yang cukup mahal maka anak akan dipaksakan untuk rajin ke sekolah. Sementara anak-anak usia dini rentan bosan dan belum memiliki rasa tanggung jawab. Mengingat kebanyakan teman-teman saya adalah keluarga muda dengan penghasilan rata-rata. Kecuali, kebanyakan orang elit yang memang bingung membuang duit, tak apalah mereka menyekolahkan anaknya di tempat-tempat mahal. Sesuatu yang dipaksakan tak baik juga akibatnya, lebih baik kelebihan uang yang ada ditabung untuk keperluan sekolahnya di masa mendatang. Dimana biaya akan semakin tinggi.   

Aku lebih suka membelikan anak-anakku buku-buku dan mainan edukatif yang dapat kami lakukan bersama di rumah. Aku selalu mengingatkan diriku sendiri bahawa aku adalah seorang guru. aku mampu memberikan dedikasi yang baik kepada anak didikku dan mencetak mereka sebagai lulusan yang baik. Lalu mengapakah aku tidak kulakukan juga pada anak-anakku? Meskipun aku bukan guru TK ataupun SD tapi tetaplah anak-anak adalah tanggung jawabku. Gelar sarjana ini akan kumanfaatkan bagi kebaikan anak-anakku. Alhamdulillah abang Syahdu anak yang mudah diajak belajar, ia cerdas dan kritis sehingga adiknya pun mengikuti setiap kami belajar bersama. Satu paket buku belajar merk Grolier cukuplah menemani belajar anak-anakku di rumah, selain juga vcd-vcd belajar yang ada.

tips:
  • Setiap sekolah memiliki ciri khas dan metode yang diunggulkan, sekolah yang bagus adalah yang cocok metode belajarnya dengan anak kita, karena setiap anak berbeda maka carilah yang sesuai dengan kondisi anak kita. Bagus untuk anak tetangga, belum tentu bagus untuk anak kita loohhh.
  • Murah belum tentu tidak berkualitas dan mahal belum tentu berkualitas, hati-hati jangan sampai tertipu. Baiknya mencari informasi selengkap-lengkapnya.     
  • Hunting Sekolah Dasar sebaiknya dilakukan satu  tahun sebelumnya, karena Sekolah Dasar swasta yang berkualitas dan harga terjangkau pasti banyak peminat. Cari tahu kapan pendaftarannya dibuka.
  • Kalau sudah ketemu yang pas, pertimbangkan segera dan lekaslah mendaftar jangan sampai menyesal, keburu tutup pendaftaran. 
  • Alokasikan dana lebih untuk keperluannya di masa mendatang, jangan habiskan hanya untuk pendidikannya saat ini saja. 
 sumber foto : dokumentasi pribadi
 

Poligami Jabatan

Poligami adalah bahasan paling kuhindari karena terlalu berat bagiku. Tapi poligami yang satu ini benar-benar bikin aku geregetan untuk menulisnya. Tema ini sudah lama terlintas untuk kutuangkan dalam tulisan, terutama semenjak mengikuti seminar sosialisasi akreditasi tempo hari. Ceritanya berawal dari kehadiranku di sebuah seminar kependidikan yang dihadiri oleh para Kepala Sekolah dan Wakilnya. Mataku tertuju pada dua orang Bapak-bapak yang aku kenal di pertemuan-pertemuan sebelumnya. Bapak yang pertama kukenal sebagai Kepala Sekolah di sebuah SMK negeri baru di kotaku, tentu saja aku sedikit kaget mengingat sekolah tersebut tidak ada dalam daftar undangan seminar kali ini. Dalam sebuah kesempatan akupun sempat berbincang dengannya. Dari perbincangan itulah aku mengetahui bahwa Bapak tersebut datang sebagai Wakil dari sekolah swasta baru yang dikepalai juga oleh seorang PNS dari SMK negeri pertama di kotaku. Bapak yang kedua kukenal sebagai Ketua MGMP Mata pelajaran yang kuampu. Kuketahui beliau adalah seorang guru PNS dari SMK yang sama dengan Bapak-Bapak sebelumnya. Tanya punya tanya, oohhh ternyata beliau mewakili salah satu sekolah yang dikepalainya, bahkan beliau adalah Kepala sekolah di dua sekolah swasta lainnya. Ooohhhh....ternyata....

Adalagi cerita lainnya ketika aku sekali lagi mewakili pertemuan para Kepala Sekolah di SMK Negeri yang berhasil menelurkan bapak-bapak multitasking tersebut. Jam pertemuan diberitahu dimulai pukul 10. Namun sudah pukul 10 lewat sedikit koq belum juga ada yang datang? Hampir saja aku keburu sebal. Tak lama panitia rapat datang dan menelepon para Kepala Sekolah yang belum hadir, ada 5 sekolah. Aku sempat bingung, "Hah baru ditelepon? Bisa lama nih nungguin mereka datang."Begitu pikirku. Ajaib lima menit kemudian rombongan Kepala Sekolah pun datang. Ohhh ternyata mereka adalah guru-guru PNS dan honorer yang mengajar di SMK Negeri tersebut, pantas saja mereka santai dan tinggal tunggu telepon. Double job atau pekerjaan ganda kukira sudah biasa. Seorang guru PNS yang juga mengajar di swasta demi memenuhi banyak jam mengajar atau guru PNS yang kemudian menjadi Kepala Sekolah di sebuah SMK swasta atau seorang guru yang juga pedagang (seperti aku ini). Selama double job itu dilakukan diluar jam mengajar tentu tidak masalah.

Tapi hal yang kutemui ini sedikit ajaib, poligami jabatan begitulah aku menyebutnya. Sebab tidak hanya menjabat dua melainkan lebih dari dua. Jabatan Kepala Sekolah adalah jabatan yang seharusnya menuntut seseorang untuk hadir setiap hari di sekolah yang dipimpinnya. Itu jika sekolah tersebut ingin lekas maju dan profesional. Bagaimanalah bisa dilakukan dengan berpoligami seperti itu? Apalagi menjadi Kepala Sekolah di dua sekolah bahan lebih, sungguh tak habis pikir. Kesannya koq jadi maruk jabatan ya ?? Bagaimana memanajemen waktu, membagi perhatian dan berlaku adil kepada setiap sekolah yang dipimpin. Apakah ini sekedar gengsi dan uang jabatan? Jika sebuah jabatan diukur dari banyaknya uang yang diterima maka pastinya tidak akan pernah cukup. Apalagi bagi sekolah swasta dengan yayasan yang pelit dan asal-asalan dalam memberi gaji kepada Kepala Sekolah dan gurunya. Tapi bagi orang-orang yang amanah, pastinya tidak akan bisa berlaku seperti itu. Karena sebuah jabatan adalah amanah yang berat pertanggung-jawabannya. Joke atau lelucon yangs empat terlintas di benakku ialah membayangkan, suatu ketika ada rapat gabungan seluruh SMK di kotaku kemudian diabsen oleh Kepala Dinas Pendidikan, dimana terdapat oknum yang berlaku poligami jabatan seperti itu. Lucu juga kali ya, saat nama-nama SMK yang dikepalai oleh pelaku poligami jabatan disebutkan dan ternyata Kepala Sekolahnya adalah orang yang sama, lumayan bisa menghemat kursi ;) Belum lagi penghematan uang transport Kepala Sekolah, untuk tiga sekolah cukup satu sekolah saja yang mengeluarkan transport :P Tapi tidak begitu pastinya, yang ada kantong pelaku poligami jabatan itu pastinya bertambah tebal karena untuk sekali rapat dua tiga pulau terlampaui (maksudnya mengantongi tiga uang transport sekaligus :D). 

Belum sempat kutuangkan kisah poligami jabatan ini pada sebuah tulisan, eh ternyata poligami jabatan ini memang sudah dicontohkan dari pemimpin tertinggi negara ini. Ohhh, berarti poligami jabatan itu memang dibolehkan dalam negara ini. Yah mungkin memang tidak ada aturan baku untuk hal ini, tapi tetap saja harus menjadi perhatian bagi para pejabat di Departemen Pendidikan atau Pemda setempat. Mengenai aturan-aturan bagi PNS yang berpoligami seperti ini. 

No offense alias tidak ada kecemburuan dalam tulisan ini kepada mereka memiliki kesempatan meraup multijabatan dan multihonor. Ini hanyalah sekedar curhatan seorang pengamat pendidikan rendahan seperti diriku ini.

BAW memang BEDA!!

Awal berkenalan dengan BAW

Be A Writer (BAW) bukanlah grup menulis pertama yang saya ikuti, sebelumnya pernah juga saya nyemplung ke dalam satu, dua grup menulis. Saya termasuk salah seorang dari 100 orang yang cukup beruntung bisa mengikuti BAW semenjak awal berdirinya hingga saat ini. Yup, beruntung, karena saya termasuk orang yang paling cepat memberi komen atas tawaran pendiri BAW yakni Mba Leyla Imtichanah atau Leyla Hana. 

Berawal dari hobi

Menulis adalah hobi yang tanpa sadar saya minati. Awalnya hanya sekedar rajin menulis proposal kegiatan berorganisasi hingga akhirnya memenangkan beberapa lomba menulis ilmiah hingga kemudian menjadi kontributor di sebuah majalah komputer semasa kuliah dulu. Facebook menjadi menjemukan bagi saya yang tidak begitu narsis menuliskan status remeh-temeh, hingga berbagai lomba menulis baik itu audisi antologi maupun lomba menulis yang disponsori beberapa produk berdatangan. Tema-tema lomba yang mudah yang merupakan pengalaman keseharian seperti pengalaman yang berhubungan dengan mengasuh anak dan berumah tangga saya ikuti. Alhasil adalah satu, dua lomba yang nyangkut. Hadiah voucher belanja atau hadiah hiburan lainnya cukup menghibur dan memicu semangat saya untuk kembali menulis dan menelurkan sebuah buku. Dan harapan itu semakin terbentang lebar dengan adanya BAW. 

BAW memang BEDA !!

Bedanya BAW dengan grup lainnya adalah sejak pertama kali BAW berdiri, para pendiri maupun mentornya seakan bersungguh-sungguh dalam mengasah kemampuan para anggotanya untuk menulis. Terbukti dengan adanya jadwal harian maupun mingguan yang wajib dikerjakan para anggota BAW yang sudah ditunjuk secara bergiliran oleh Mba Leyla selaku Kepsek BAW. Kegiatan ini memaksaku untuk mau membaca tulisan dari anggota-anggota BAW lainnya terutama yang sering mendapat pujian dari para mentor, tentunya untuk mempelajari teknik-teknik menulis yang baik, yang tujuannya tentu saja agar saat giliranku menulis maka hasilnya gak malu-maluin amat :) Misalnya saja menulis resensi buku, resensi film dan catatan harian. Jangankan menulis sebuah karya, untuk mengomentari sebuah tulisan pun saya banyak belajar dari para anggota BAW, salah satunya adalah mba Ade Anita yang amat detail dalam memberikan komentar sebuah tulisan. Proses seleksi yang cukup ketat dengan berbagai tugas dari para mentor membuat sebagian dari  anggota terpaksa drop out dan kemudian berganti dengan anggota lain. And I feel so lucky that I am still here :)

 Kunjungan Tim BAW ke Elex Media

Nonfiksi adalah jalur yang sudah saya tentukan untuk saya dalami. Cerpen apalagi novel rasanya tak akan pernah bisa saya buat. Tantangan terberat diberikan para mentor ketika para anggota diharuskan menulis sebuah cerpen dengan memilih salah satu tema. Hasilnya, ternyata cukup memuaskan, cerpenku berhasil masuk diantara yang layak dimasukkan dalam antologi cerpen BAW. It's amazing for me! Tak berhenti disitu, BAW kembali memacu semangat para anggotanya dengan berlomba-lomba menelurkan buku, proyek duet BAW. Meski berhasil meminang jagoan blogger, Mugniar atawa Bundanya Fiqthiyya, calon buku kami belum berhasil dirampungkan (padahal outline buku kami sudah dinilai baik oleh 2 penulis ternama), maklumlah menulis buku nonfiksi memang tak semudah menulis cerpen yang hanya mengandalkan imajinasi semata (kita harus tetap semangat Ka Niar!). Tapi BAW sungguh memberikan banyak pengalaman baru bagiku. Berinteraksi dengan para anggota BAW yang hangat dan  lucu. Bahkan "orang biasa" seperti saya ini dapat berhubungan dekat dengan mentor yang juga penulis ternama. Saling memberi info lomba menulis, saling mendukung. Kemenangan-kemenangan yang berhasil diperoleh anggota BAW tidak semata untuk memamerkan kemampuan setiap personal, lebih dari itu adalah untuk memunculkan semangat bersaing sehat yang akhirnya memicu anggota BAW lainnya agar turut berpartisipasi dalam lomba-lomba yang ada. Itulah yang kurasakan saat membaca pengumuman kemenangan temanku sesama anggota BAW. BAW memang  Waw banget gitu lochh!!

sumber foto : dokumentasi pribadi

Tulisan ini diikutkan dalam giveaway perdana dalam rangka launching blog Be A Writer (BAW) Indonesia : http://bawindonesia.blogspot.com



ps: Mba Leyla, kalau saya terpilih, hadiahnya jangan GGP ya...kan sudah punya ;)


Share