2008-08-31

Tentang Bidah

Marhaban ya Ramadhan

Kedatangan tamu yang mulia ini barangkali yang melatarbelakangi ghirah ku untuk mewarnai blog ini dengan tulisan bernapaskan keagamaan. Siang tadi aku membeli beberapa buku, sebenarnya sih banyak sekali judul buku  yang menarik  hatiku, namun akhirnya aku memutuskan untuk membeli sesuai dengan budget saja. Kali ini aku ingin menulis rangkuman (sekaligus resensi) dari buku berjudul “Bidah Tanpa Sadar” yang ditulis oleh Minbarul usrah Wal Mujtama’ terbitan pustaka At-Tibyan.

Mengetahui judulnya saja, sebagian orang akan langsung mencibir. ”Bidah lagi bidah lagi, gampang banget sih membidahkan sesuatu atau seseorang!” Ups, nanti dulu jangan langsung menilai, disini dijelaskan mengapa sesuatu perkara dapat dibidahkan.  

Ketauhilah menetapi satu sunnah adalah lebih baik daripada menyelisihinya sekalipun dengan sejuta perbuatan bidah.

Bidah adalah segala bentuk perbuatan yang tidak ada contohnya dari para pendahulu (yaitu Rasulullah shollallhu’alayhi wasalam  shollallhu’alayhi wasalam dan salafusshalih). Bidah yang diperbolehkan adalah byang berkaitan dengan masalah mu’amalah dan urusan duniawi. Seperti menciptakan berbagai alat seiring kemajuan teknologi guna membantu kehidupan manusia. Mengenai hal ini saya pernah mengalami perisitiwa lucu, ketika masih kuliah dulu ada seorang ikhwan yang terkenal mengikuti jajian tertentu dan saya diwanti-wanti agar tidak terpengaruh olehnya. Katanya dia tidak menyukai bidah. Saya yang kala itu belum tahu tetntang bidah bertanya pada kawan saya seperti apakah bidah yang dimaksud itu. Kawan saya menjawab bahwa bidah itu adalah hal-hal yang tidak ada di zaman Nabi kemudian ada di zaman ini. Saya bertanya kepada kawan saya dimana rumah ikhwan tersebut. Maksud saya, kalau tempatnya jauh dari kampus lantas dengan apakah dia pergi?? Dengan menunggang kuda atau unta ? Kawan saya tak bisa menjawabnya. Alhamdulillah ternyata setelah saya mendapat penjelasan, bukan seperti itu bidah yang dimaksud. Bila teringat hal ini saya selalu merasa lucu, menertawai kebodohan saya.

Bidah yang tidak diperbolehkan adalah bidah dalam perkara agama sesuai dengan sabda Rasulullah shollallhu’alayhi wasalam  “ Jauhilah oleh kalian perkara yang diada-adakan (dalam agama), karena setiap perkara yang diada-adakan dalam agama adalah bidah. Dan setiap bidah adalah sesat.” Nah, apa sajakah itu? Hal inilah yang akan diulas dalam buku tersebut. Berikut saya akan menuliskan rangkumannya.



1. Meyakini adanya bidah hasanah
Hukum seluruh bidah dalam ibadah adalah sesat dan tidak terbagi kepada lima hukum sebagai hukum taklifi yang lima sebagaimana yang disangka oleh sebagian manusia.
“Barangsiapa mengada-ada pada urusanku ini yang tidak ada perintah-Nya, maka itu akan tertolak.”(HR.Al Bukhari dan Muslim).


2. Mencuci kemaluan setiap kali akan berwudlu sekalipun tidak berhadats.
3. Berdo’a setiap kali akan mencuci anggota wudhu’
4. Tidak berbicara ketika wudhu’
5. Berwudhu’ ketika terkena najis
apabila seseorang telah berwudhu’ kemudian terkena najis maka tidak perlu mengulang wudhunya, cukup membersihkan najis yang mengenai anggota tubuhnya. Karena najis bukanlah hadats.
6. Membasuh leher.
7. Berkata kepada orang yang berwudhu’ “Zam-zam (kumpulkan-kumpulkan)”
8. Keyakinan sebagian orang bahwa berwudhu’ tidak sempurna kecuali tiga kali-tiga kali.
Imam Al Bukhari dalam kitab shahihnya telah menyebutkan bab berwudhu dibolehkannya berwudhu’ sekali-sekali, dua kali-dua kali dan tiga kali-tiga kali.
9. Membasuh anggota wudhu’ lebih dari tiga kali.
10. Berlebih-lebihan (israf) dalam menghias masjid
Yakni dalam memberikan hiasan berupa lukisan, kaligrafi juga lampu-lampu mewah. Hal ini menyia-nyiakan nikmat listrik, kekayaan dan harta benda.
Sempat terlintas dalam benak saya mengenai hal ini bila melihat kemegahan masjid-masjid zaman sekarang bahkan terbuat dari logam mulia. Sedagkan banyak diantara umat Islam yang tergolong tidak mampu dan membutuhkan uluran tangan saudaranya. Ternyata, Islam begitu indahnya, nurani saya hampir tidak dapat menerima jika masjid harus dihias sebegitu rupa hingga mengalahkan kepentingan lain yang jauh lebih mendesak.
11. Membangun menara masjid
12. Menjauhkan anak-anak dari masjid
” Rasulullah shollallhu’alayhi wasalam  pernah keluar untuk shalat membawa Hasan atau Husain pada salah satu shalat (Magrib atau ’Isya)”
13. Meletakkan bulan sabit di atas bubung masjid
14. Menambah tangga mimbar lebih dari tiga
15. Membangun mihrab masjid dan menghiasinya dengan kaligrafi
16. Mengkapling tempat di dalam masjid
Kita saksikan banyak sekali orang yang meninggalkan sajadah untuk mengkapling tempat tersebut khusus bagi dirinnya. Dia tidak datang ke masjid kecuali terakhir, dan bila kemudian tempatnya ditempati oleh orang lain maka ia akan menghardiknya. Hal ini adalah perbuatan yang dilarang.
17. Meninggalkan adzan pertama dalam shalat shubuh dan menambah kalimat tatswib pada adzan kedua.
18.Membaca basmalah ketika adzan
19.Perkataan seorang muadzin dalam adzan ” hayya ’ala khairil amal”
20. Mengarahkan ibu jari ke kiblat ketika muadzin mengumandangkan ”Asyhadu anna MuhammadarRasulullah shollallhu’alayhi wasalam ”
21. Menyaringkan shalawat dengan pengeras suara
22. Makmum mengucapkan kalimat, ”Aqamahallahu wa adamaha” setelah iqamah.
23. Ucapan imam, ”Innallaha laa Yanzhuru ilash Shaffil A’waji.”
24.  Membaca Al Qur’an sebelum shalat shubuh dengan pengeras suara
25. Membatasi waktu hanya sejenak antara adzan dan iqamat
26. Membaca surat Al Ikhlas sebelum iqamat
27. Mendahulukan yang sepuh dari yang ahli Al Qur’an ketika menjadi imam.
28. Membuat garis untuk meluruskan shaf shalat
29. Imam diam sejenak setelah membaca Al Fatihah
30. Makmum masbuq mengucapkan, Innallaha ma’ashshabirin ketika mendapatkan imama dalam keadaan ruku’
31. Melafadzkan niat dengan nyaring di dalam shalat.
32. Sebagian jamaah shalat menambah kalimat walaa ma’buuda siwaaka dalam doa istiftah
33. Memejamkan mata dalam shalat
34. Makmum mengangkat kepalanya ketika mengucapkan amin.
35. Mengucapkan amin, waliwalidayya, walilmuslimin
36. Membaca rabbana walakal hamdu wasy syukru
37. Mengangkat kedua telapak tangan dengan tinggi ketika i’tidal seakan-akan sedang berdoa
38. Membaca qunut pada shalat shubuh.
39. Mengangkat kedua tangan ketika imam membaca MuhammadarRasulullah shollallhu’alayhi wasalam
40. Ucapan sebagian jama’ah shalat “Ista’antu bika ya rabbi”
41. Menggerak-gerakan jari ketiak duduk diantara dua sujud
42. Menambah lafazh sayyiduna di dalam tasyahud
43. Membaca amin ketika imam membaca akhir surat Al Baqarah
44. Imam memanjangkan suaranya ketika takbir untuk tasyahud dan salam
45. Menggerak-gerakkan tangan ketika salam
46. Mengangkat dan menundukkan kepala ketika salam
47. Membaca as’alukal fauza bil jannati wa as’alukaln najaata minan naari ketika salam
48. Saling berjabat tangan ketiak selesai shalat seraya mengucapkan taqabalallah
Saling berjabat tangan kepada seseorang yang belum kita ucapkan salam kepadanya dan belum kita jabat tangannya sebelum shalat adalah diperbolehkan. Namun langsung berjabat tangan antara imam dan makmum dan sesama makmum belum didapatkan dalilnya.
49. Doa bersama-sama setelah selesai shalat
50. Mengangkat tangan ketika berdoa setelah shalat fardhu
51. Membaca surat Al Fatihah setelah selesai shalat fardhu
52. Bershalawat secar bersama-sama setiap selesai shalat Fardhu
53. Bertasbih dengan alat tasbih
54. Berlebih-lebihan dalam menangis dan khusyu’ ketika berdzikir
55. Shalat dengan rakaat tertentu antara Magrib dan ’isya
56. Menunggu imam
57. Mengganti shalat pada hari berikutnya
58. Melaksanakan shalat sunnah ketika iqamat
59. Melaksanakan shalat khamsin (lima puluh rakaat)
60. Membaca dzikir tertentu ketika sujud sahwi (karena lupa)
Bacaan yang dibaca sama saja dengan bacaan sujud lainnya
61. Mengucapkan ta’awudz ketika menguap
cukup menutupnya saja dengan tangan

Bidah pekanan
1. Membaca surat Al Jumu’ah dalam shalat ’Isya pada malam Jum’at
2. Mengkhususkan hari Kamis sebagai hari ziarah kuburah syuhada ’Uhud
3. Membaca Al Qur’an sebelum shalat jum’ay dengan pengeras suara
4. Adzan kedua pada hari Jum’at
5. Meninggalkan shalat tahiyatul masjid
6. Shalat sunnah qabliyah Jum’at
7. membaca surat Al Fatihah dianatara dua khutbah jum’at
8. Mengamini doa imam dengan mengangkat tangan
9. Khatib mengangkat tanggannya ketika berdoa
10. Mengkhususkan khutbah kedua hanya untuk berdoa
11. Memanjangkan khutbah dan memendekkan shalat

Bidah tahunan

1. Shaum pada hijrahnya Rasulullah shollallhu’alayhi wasalam
2. Perayaan tahun baru
3. Berkabung pada hari kesepuluh dari bulan Muharram
4. Pesimis dengan datangnya bulan Shafar
5. Peringatan maulid Nabi Muhammad di bulan Rabi’ul Awal
6. Shalat Raghaib di bulan Rajab
7. Peringatan Isra’ dan Mi’raj
8. Shalat Al Fiyah pada malam pertengahan bulan Sya’ban
9. Metode hisab
10. seputar ru’yat hilal Ramadhan
11. Imsak
12. Mengakhirkan berbuka
13. Seputar shalat Tarawaih
14. membaca ayat-yat sajadah
15. Mengikuti bacaan imam sambil membawa mushaf
16. Dzikir setelah dua salam shalat tarawih
17. Shalat tarawih setelah magrib
18. Peringatan untuk sahur
19. Peringatan perang Badar
20. Hafizhah Ramadhan
21. Shalat Lailatul Qadar
22. Perpisahan Ramadhan
23. Seputar Idul Fitri
24. Idul Abrar di bulan Syawal
25. Pesimis menikah pada bulan Syawal
26. shalat sunnah tahiyat baitullah adalah Thawaf
27. Mengharap berkah dengan menyentuh tirai penutup Ka’bah atau dindingnya
28. shalat sunnah dua rakaat setelah sa’i
29. Ziarah ke masjid Nabawi
30. Ziarah ke masjid bersejarah
31. Naik ke atas gunung arafat
32. Seputar Idul Adha
33.

2008-08-23

Ikhlas

Untuk menetapi kebenaran dan kesabaran adalah masalah ikhlas.

Ikhlas merupakan rahasia (diterimanya) ibadah. Kita sering melihat amalan seseorang yang begitu tekun, begitu bersungguh–sungguh, baik dalam mengeluarkan shadaqah atau pun infak akan tetapi itu semua jadi bumerang baginya (tidak mendapatkan pahala). Alloh Jalla Jalaluhu berfirman :

“Artinya : Dan kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan.” [Al–Furqan : 23]

Setiap amalan yang tidak ikhlas, bukan saja amalan tersebut tidak bermanfaat bagi pelakunya tetapi juga menjadi bencana dan bahaya yang akan menimpa pelakunya. Alloh Ta’a la berfirman :

“Artinya : Padahal mereka tidak disuruh kecuali menyembah Alloh dengan memurnikan ketaatan kepadaNya (dalam menjalankan agamaNya dengan lurus)" [Al–Bayyinah : 5]

Ikhlas merupakan cahaya yang memberikan petunjuk dan menyinari pelakunya menuju jalan keselamatan serta mendekatkan diri kepada Alloh Jalla jalaluhu.

Untuk mewujudkan keikhlasan membutuhkan ketekunan, kesabaran serta kesungguhan, sebab menanamkan keikhlasan bukanlah perkara yang mudah karena setan selalu mengawasi gerak–gerik manusia. Alloh Jalla Jalaluhu berfirman.

“Artinya : Iblis menjawab : “Demi kekuasaan Engkau aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba–hambaMu yang mukhis di antara mereka.” [As–Shad : 82–82]

Yang dinamakan mukhlis adalah orang yang dikokohkan keikhlasan dan kemurnian niatnya serta kesucian hatinya menuju Rabbul Bariyyah, Yang Maha Mulia dalam ketinggian serta Agung, berada di atas ‘Arsy). Alloh Jalla Jalaluhu berfirman :

“Artinya : Dan orang–orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami benar–benar akan tunjukkan jalan–jalan tersebut" [Al–Ankabut : 69]

Perjalanan hidup manusia dalam beramal, kadang kala diliputi oleh rasa ikhlas dan jujur untuk melawan tipu daya setan ; yang mana (setan) tersebut selalu menghiasi amalannya yang tidak ikhlas dibuat seperti amalan yang ikhlas.

Demikian juga sebaliknya kadang kala setan menghiasi amalan orang yang ikhlas dibuat seperti amalan orang yang tidak ikhlas sehingga membuat dia berhenti dari beramal dan tidak beristiqomah.

Oleh karena itu, orang yang benar–benar memiliki kejujuran (dalam beribadah) kepada Alloh Jalla Jalaluhu, akan tetapi konsisten dalam beramal dan mampu menghalau tipu daya setan dengan melawan kecenderungan hawa nafsunya yang selalu mengarah kepada kejelekan. Sebagaimana sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam dalam hadits qudsi, Alloh Jalla Jalaluhu berfirman

“Artinya : Aku sesuai dengan persangkaan hambaKu terhadap diriKu [HR. Bukhari 7405 Muslim 6952 ; bersumber dari Abu Hurairah Rhadhiallahu ‘anhu]

Maka berprasangka baiklah kepada Alloh Jalla Jalaluhu dan peruntukkanlah semua amal kebaikanmu hanya kepada Alloh Jalla Jalaluhu semata. Perangilah was–was setan dan hawa nafsumu, niscaya Alloh Jalla Jalaluhu akan menolongmu.

Kedua
Perihal “berpegang teguh kepada Sunnah Nabi Shalallahu ‘alaihi wa salam yang suci lagi mulia” dan hal itu merupakan salah satu syarat diterimanya amal seorang hamba, karena amal tidak akan diterima kecuali memenuhi dua syarat, sebagaimana seekor burung tidak akan terbang kecuali dengan dua sayap.

Syarat yang pertama adalah Ikhlas adapun syarat kedua adalah ittiba’ (mengikuti Sunnah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam), kedua syarat tersebut merupakan wujud realisasi dari kalimat syahadah “Laa ilaaha illallah Muhammad Rasulullah”

Adapun maknanya adalah “laa ma’buuda bihaqqin illalloh” (tidak ada sesembahan yang benar kecuali Alloh Jalaalahu) dan kalimat “Muhammad Rasulullah” adalah “Laa matbuu’a bihaqqin illa Rasulullah” (tidak ada seorang pun yang patut diikuti kecuali Rasulullah).

Alloh Jalla Jalahu berfirman ketika menyifati diriNya :

“Artinya : Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya” [Al–Mulk : 2]

Berkata Fudhail Bin Iyadh : “Yang dimaksud dengan ‘ahsanu amalan’ adalah amalan yang paling ikhlas dan paling baik.” Mereka mengatakan : “Wahai Abu ‘Ali (ini merupakan kunyah beliau pada saat itu), apa yang dimaksud dengan amalan yang paling ikhlas dan paling baik ?” Beliau menjawab : “Amalan yang paling ikhlas adalah amalan yang diperuntukkan hanya kepada Alloh semata dan amalan yang paling baik adalah amalan yang sesuai dengan Sunnah Rasulullah.”

Sunnah yang mulia ini merupakan petunjuk menuju jalan Alloh yang lurus. Bagaimana tidak ? Alloh telah mengaitkan hidayah seorang hamba yang ia selalu minta kepadaNya pada setiap siang dan malam tidak kurang dari 17 kali tatkala ia mengucapkan’ ihdinash shirotol mustaqim’ (tunjukilah kami kepada jalan yang lurus) maka Alloh telah mengaitkan bukti wujud hidayah seorang hamba dengan mengikuti Sunnah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam dalam firmanNya :

“Artinya : Dan jika kalian menaatinya (Rasul) niscaya kalian akan mendapatkan hidayah” [An–Nur : 54]

Jika kalian mengikuti Sunnahnya, melaksanakan perintahnya dan menjadikannya sebagai suri tauladan maka kalian akan mendapatkan petunjuk dan keselamatan. Sungguh, Alloh telah berfirman dalam kitabNya :

“Artinya : Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Alloh dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Alloh” [Al–Ahzab : 21]

Oleh karena itu, Alloh mengaitkan bukti cinta terhadapNya dengan mencintai Rasulullah Sholallohu ‘alaihi wa salam dan mengaitkan seluruh kecintaan ini dalam bentuk mengikuti Sunnah Rasulullah. Alloh Jalla jalaluhu berfirman :

“Artinya : Jika kamu benar–benar mencintai Alloh maka ikutilah aku, niscaya Alloh akan mengasihimu” [Ali Imron : 1]

Inilah timbangan yang benar dalam hal kecintaan. Tidaklah bukti cinta kepada Rasulullah Shalallohu ‘alaihi wa salam hanya melibatkan perasaan semata, tanpa dibarengi dengan amalan yang benar serta ittiba’ yang kokoh.

Memang benar, cinta itu melibatkan perasaan dan harapan, akan tetapi seluruhnya tidak bernilai benar, kecuali dengan ber–qudwah dan mengikuti Rasululloh Shalallohu ‘alaihi wa salam sepenuhnya, sehingga bentuk kecintaan kita kepada Rasulullah Shalallohu ‘alaihi wa salam merupakan wujud kecintaan kita kepada Alloh, sedangkan cinta kepada Nabi Shalallohu ‘alaihi wa salam adalah dengan mengikuti Sunnahnya.

Ketiga.
Merupakan perkara yang sangat fundamental dan mendasar sekali, yaitu yang berkenaan dengan arti pentingnya ilmu, bagaimana antusias kita dalam menuntutnya, mengamalkannya, serta mendakwahkannya.

Pada dasarnya, setiap hamba muslim adalah da’i menuju Alloh, sehingga seluruh kehidupannya dicurahkan untuk memurnikan keikhlasan kepada Alloh dan berittiba’ kepada Rasulullah Shalallohu ‘alaihi wa salam kesemuanya itu tidak akan terwujud kecuali dengan adanya ilmu, belajar dan mengajar. Ibnu Hajar telah menjelaskan hadits pertama dari Shahih Bukhari yang berbunyi.

“Artinya : Sesungguhnya amal perbuatan tergantung pada niatnya dan seseorang akan mendapatkan apa yang ia niatkan” [HR. Bukhari 1, bersumber dari Umar Bin Khaththab]

Beliau menjelaskan, hadist ini merupakan dalil yang yang menunjukkan bahwa ilmu itu mendahului niat. Kalau engkau tidak mengetahui apa yang akan engkau katakan atau yang akan engkau kerjakan, bagaimana engkau bisa memurnikan dan membedakan niat ? Hal itu dikuatkan dengan firman Alloh :

“Artinya : Ketahuilah bahwa tidak illah yang haq disembah melainkan Alloh, maka mohonlah ampunan bagi dosamu” [Muhammad : 19]

Al–Imam Bukhari menjadikan ayat ini pada salah satu bab dalam kitab Shahihnya. Beliau berkata “Bab Ilmu sebelum berkata dan berbuat”, kemudian beliau mengomentari ayat tersebut : “Maka Alloh Jalla Jalaluhu telah memulai dengan ilmu sebelum berucap dan beramal.”

Berilmulah, wahai saudaraku ! Dan jadikanlah tujuan kalian dalam menuntut ilmu, mencari keridhaan Alloh Jalla Jalaluhu, jujur dan kembali kepadaNya. Janganlah engkau jadikan tujuan menuntut ilmu dalam rangka membantah ulama, menonjolkan diri dalam majelis, bersaing dan pamer kepada khalayak ramai. Rasulullah Shalallohu ‘alaihi wa salam bersabda.

“Arrtinya : Barang siapa menuntut ilmu untuk membodohi orang, atau menantang para ulama, atau mencari perhatian manusia, maka dia masuk neraka” [Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Muqaddimah 253, dan dishahihkan Al–Albani lihat Al–Misykat 225–226 ; bersumber dari sahabat Ibnu Umar Rhadiyallahu ‘anhu]

Hadits ini merupakan peringatan keras bagi orang yang tidak ikhlas dalam menuntut ilmu, serta tujuannya dalam menuntut ilmu tidak dalam rangka mencari keridhoan Alloh Jalla Jalaluhu.

Sebagaimana yang telah saya sampaikan sebelumnya, bahwa syetan selalu mengintai dan membisikkan kepadamu untuk tidak berbuat ikhlas kepada Alloh Jalla Jalaluhu, maka janganlah engkau menggubrisnya dan upayakanlah dirimu untuk senantiasa ikhlas dalam segala hal, utamanya menuntut ilmu, oleh karena itu teruslah menuntut ilmu !.

Berkata Sufyan Ats–Tsauri : “Dulu kami menuntut ilmu untuk selain Alloh tetapi ilmu itu enggan kecuali hanya untuk Alloh Jalla Jalaluhu.” Maknanya, jiwa itu selalu memiliki tuntutan serta keinginan, terlebih lagi ketika menginjak usia muda dan memasuki usia remaja, jiwa ini memiliki keinginan dan dorongan yang sangat kuat untuk melakukan berbagai macam perkara sesuai dengan kadar kejahilannya, atau ilmu yang dimiliki serta keikhlasan kepada Rabbnya serta keikhlasan kepada Rabbnya serta rasa ittiba’nya kepada Rasulullah Shalallohu ‘alaihi wa salam.

[Disalin dari Majalah Al-Furqon Edisi 8 Tahun V/Rabi’ul Awwal 1427H/April 2006. Dengan Judul Nasehat Syaikh Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari Hafizhahullah. Penerbit Lajnah Dakwah Ma’had Al-Furqon, Alamat Maktabah Ma’had Al-Furqon, Srowo Sidayu Gresik Jatim 61153, Judul artikel oleh Redaksi Almanhaj]

2008-08-22

Halo, ayah dimana ?

Kriiing... kriing.....! ! !

Bunyi telepon membuat anakku Syahdu melepaskan sejenak mainannnya. Lalu dia menoleh kepadaku seakan bertanya, "bunda ada telepon tuh, koq ga diangkat-angkat?" Lalu karena aku tidak juga mengangkat teleponnya, Syahdu pun mulai beranjak dari tempatnya menuju telepon diletakkan. Dia sudah hapal dimana telepon berada, kemudian langsung saja dia mengangkat telepon itu dan seakan berujar "halo... siapa ni? ayah?" Hahahhaha lucu sekali melihat adegan itu . Tambah lagi dia sok menekan tuts telepon mengikuti gayaku kalau sedang menelepon. Lalu diapun meletakkan telepon itu (meski belum pada tempatnya). Ah.. Syahdu, kamu lucu sekali nak. Kalau ditanya apa yang membuatku tersenyum hari ini (setiap harinya), pastilah karena dirimu nak. Dirimu dan kelucuan yang kau buat. Meskipun kamu suka buat bunda jengkel karena mengobrak-abrik baju yang sudah disetrika juga mengacak-acak semua bagian rumah, bunda tetap sayaaaaang sama Syahdu.  I love you bibeh

marhaban ya Ramadhan

Tak terasa Ramadhan kedua (After married) sudah hampir tiba. Rasanya aku ingin cepat-cepat ia datang. Mengingat Ramadhan lalu tak kulalui dengan seharusnya. Kehamilan yangsudah diujung bulan, membuatku tidak dapat menikmati Ramadhan seutuhnya. Selain itu Idul Fitri kali ini akan menjadi berbeda dari tahun yang lalu dimana kami tidak bisa kemana-mana waktu itu. Maklumlah, syahdu baru saja lahir dan kondisi badanku belum pulih pasca melahirkan. Jadilah kami hanya berlebaran di rumah saja . Ramadhan dan Idul Fitri kali ini akan semakin semarak dengan kehadiran buah hatiku yang sudah semakin besar. Di anganku sudah terbayang rencana Ramadhan dan Idul Fitri yang akan kami lewatkan bersama-sama. Meski yang hilang belum juga kembali seutuhnya , aku akan menafikan semua itu dan tetap bersyukur dengan apa yang telah Allah subahanahu wata'ala berikan padaku, pada kami sekeluarga. Aku  memohon agar Ramadhan dan idul Fitri akan menempa kami menjadi manusia yang lebih baik, hamba Allah yang lebih taat dari waktu yang lalu. Agar kami mampu mewujudkan keluarga sakinah mawaddah warrahmah dalam naungan hidayah Illahi. Hmmm Ramadhan, sudah tercium aroma wewangianmu. Sampaikan aku padamu.

with love

me and my family 

Pesan Jibril Menjelang Ramadhan

Dari Ramadhan ke Ramadhan masalah ini sering sekali ditanyakan, dan hadits yang anda tanyakan, saya dapatkan dalam kitab Sifat Puasa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang ditulis oleh Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaly dan Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid.

Untuk lebih jelasnya, makna hadits tersebut bisa anda baca salinan di bawah ini.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu juga, (bahwasanya) Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah naik mimbar kemudian berkata, "Amin, Amin, Amin." Ditanyakan kepadanya, "Ya Rasulullah, engkau naik mimbar kemudian mengucapkan Amin, Amin, Amin?" Beliau bersabda, "Artinya : Sesungguhnya Jibril 'Alaihis salam datang kepadaku, dia berkata, "Barangsiapa yang mendapati bulan Ramadhan tapi tidak diampuni dosanya maka akan masuk neraka dan akan Allah jauhkan dia,  katakan "Amin", maka akupun mengucapkan Amin...."

[Hadits Riwayat Ibnu Khuzaimah 3/192 dan Ahmad 2/246 dan 254 dan Al-Baihaqi 4/204 dari jalan Abu Hurairah. Hadits ini shahih, asalnya terdapat dalam Shahih Muslim 4/1978. Dalam bab ini banyak hadits dari beberapa orang sahabat, lihatlah dalam Fadhailu Syahri Ramadhan hal.25-34 karya Ibnu Syahin]

Disalin  dari Sifat Puasa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, hal. 27-28, Pustaka Al-Haura.

Yang lebih lengkap lagi akan disalinkan dari buku Birrul Walidain oleh Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas, hal. 44-45 terbitan Darul Qalam. Artinya: Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam naik ke atas mimbar kemudian berkata, "Amin, amin, amin". Para sahabat bertanya. "Kenapa engkau berkata 'Amin, amin, amin, Ya Rasulullah?" Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Telah datang malaikat Jibril dan ia berkata : 'Hai Muhammad celaka seseorang yang jika disebut nama engkau namun dia tidak bershalawat kepadamu dan katakanlah amin!' maka kukatakan, 'Amin', kemudian Jibril berkata lagi, 'Celaka seseorang yang masuk bulan Ramadhan tetapi keluar dari bulan Ramadhan tidak diampuni dosanya oleh Allah dan katakanlah amin!', maka aku berkata : 'Amin'. Kemudian Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata lagi. 'Celaka seseorang yang mendapatkan kedua orang tuanya atau salah seorang dari keduanya masih hidup tetapi justru tidak memasukkan dia ke surga dan katakanlah amin!' maka kukatakan, 'Amin".

[Hadits Riwayat Bazzar dalama Majma'uz Zawaid 10/1675-166, Hakim 4/153 dishahihkannya dan disetujui oleh Imam Adz-Dzahabi dari Ka'ab bin Ujrah, diriwayatkan juga oleh Imam Bukhari dalam Adabul Mufrad no. 644 (Shahih Al-Adabul Mufrad No. 500 dari Jabir bin Abdillah)]

Dengan demikian, hadist diatas tidak ada hubungan dengan keharusan bermaafan sebelum puasa Ramadhan.

Meminta maaf dan memaafkan seseorang dapat dilakukan kapan saja, dan tidak ada tuntunan syari'at harus dikumpulkan dulu dan menunggu sampai menjelang bulan Ramadhan.

Wallahu 'alam


sumber:
http://wiki.direktif.web.id/moin.cgi/PesanJibrilMenjelangRamadhan

2008-08-14

syahdu




tiga lelaki dalam hidupku, adik, suami dan anakku. I love you all.

Merindukan Ketenangan

Dalam hatiku dan jiwaku
hanyalah ketenangan menjalani hidup yang kuinginkan
bukan harta ataupun pujian
cukuplah anakku sebagai harta berharga untukku
hanyalah sebuah ketenangan yang kuinginkan
ketenangan merajut hari-hariku bersama
orang-orang yang kucintai dan mencintaiku

Beautiful Life




Since u came into my life, the life is wonderful

Yang berhak menentukan harta waris

Pembagian Harta Waris, Siapakah Yang Berwenang Membagi Harta Waris?

Rabu, 10 Januari 2007 01:45:28 WIB

PEMBAGIAN HARTA WARIS


Oleh
Ustadz Aunur Rofiq bin Ghufron
Bagian Pertama dari Dua Tulisan 1/2




Problema keluarga sehubungan dengan pembagian harta waris atau pusaka, akan bertambah rumit manakala diantara para ahli waris ingin menguasai harta peninggalan, sehingga berdampak merugikan orang lain. Tak ayal, permusuhan antara satu dengan lainnya sulit dipadamkan. Akhirnya solusi yang ditawarkan dalam pembagian waris tersebut ialah dengan dibagi sama rata. Atau ada juga yang menyelesaikannya di meja pengadilan dan upaya lainnya.

Sebagai kaum Muslimin, sesungguhnya untuk menyelesaikan permasalahan waris ini, sehingga persaudaraan di dalam keluarga tetap terjaga dengan baik, maka tidak ada jalan lain kecuali kembali kepada Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari sinilah penulis ingin menyampaikan perkara ini. Meski singkat, kami berharap semoga bermanfaat.

SIAPAKAH YANG BERWENANG MEMBAGI HARTA WARIS?
Adapun yang berwenang membagi harta waris atau yang menentukan bagiannya yang berhak mendapatkan dan yang tidak, bukanlah orang tua anak, keluarga atau orang lain, tetapi Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena Dia-lah yang menciptakan manusia, dan yang berhak mengatur kebaikan hambaNya.

“Artinya : Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu, bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan…”[An-Nisa : 11]

“Artinya : Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah : “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah, (yaitu) jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan…” [An-Nisa : 176]

Sebab turun ayat ini, sebagaimana diceritakan oleh sahabat Jabir bin Abdullah Radhiyallahu ‘anhu bahwa dia bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Wahai Rasulullah, apa yang harus aku lakukan dengan harta yang kutinggalkan ini”? Lalu turunlah ayat An-Nisa ayat 11. Lihat Fathul Baari 8/91, Shahih Muslim 3/1235, An-Nasa’i Fil Kubra 6/320

Jabir bin Abdullah Radhiyallahu ‘anhu berkata, datang isteri Sa’ad bin Ar-Rabi’ kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa dua putri Sa’ad. Dia (isteri Sa’ad) bertanya :”Wahai Rasulullah, ini dua putri Sa’ad bin Ar-Rabi. Ayahnya telah meninggal dunia ikut perang bersamamu pada waktu perang Uhud, sedangkan pamannya mengambil semua hartanya, dan tidak sedikit pun menyisakan untuk dua putrinya. Keduanya belum menikah….”. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allahlah yang akan memutuskan perkara ini”. Lalu turunlah ayat waris.

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil paman anak ini, sambil bersabda : “Bagikan kepada dua putri Sa’ad dua pertiga bagian, dan ibunya seperdelapan Sedangkan sisanya untuk engkau”[Hadits Riwayat Ahmad, 3/352, Abu Dawud 3/314, Tuhwatul Ahwadzi 6/267, dan Ibnu Majah 2/908,Al-Hakim 4/333,Al-Baihaqi 6/229. Dihasankan oleh Al-Albani. Lihat Irwa 6/122]

Berdasarkan keterangan diatas jelaslah, bahwa yang berwenang dan berhak membagi waris, tidak lain hanyalah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bahkan Allah mempertegas dengan firmanNya : “Ini adalah ketetapan dari Allah”. Dan firmanNya : “Itu adalah ketentuan Allah”. Lihat surat An-Nisa ayat 11,13, dan 176.

Ketentuan Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah sangat tepat dan satu-satunya cara untuk menanggulangi problema keluarga pada waktu keluarga meninggal dunia, khususnya dalam bidang pembagian harta waris, karena pembagian dari Allah Subhanahu wa Ta’ala pasti adil. Dan pembagiannya sudah jelas yang berhak menerimanya..Oleh sebab itu, mempelajari ilmu fara’idh atau pembagian harta pusaka merupakan hal yang sangat penting untuk menyelesaikan perselisihan dan permusuhan di antara keluarga, sehingga selamat dari memakan harta yang haram.

Berikutnya, Allah Subhanahu wa Ta’ala menentukan pembagian harta waris ini untuk kaum laki-laki dan perempuan. Allah berfirman.

“Artinya : Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan” [An-Nisa : 7]

Dalil pembagian harta waris secara terperinci dapat dibaca dalam surat An-Nisa ayat 11-13 dan 176.

BARANG YANG DIANGGAP SEBAGAI PENINGGALAN HARTA WARIS
Dalam ilmu fara’idh, terdapat istilah At-Tarikah. Menurut bahasa, artinya barang peninggalan mayit. Adapun menurut istilah, ulama berbeda pendapat. Sedangkan menurut jumhur ulama ialah, semua harta atau hak secara umum yang menjadi milik si mayit. Lihat Fiqhul Islam Wa Adillatih 8/270.

Muhammad bin Abdullah At-Takruni berkata : “At-Tarikah ialah, segala sesuatu yang ditinggalkan oleh mayit, berupa harta yang ia peroleh selama hidupnya di dunia, atau hak dia yang ada pada orang lain, seperti barang yang dihutang, atau gajinya, atau yang akan diwasiatkan, atau amanatnya, atau barang yang digadaikan, atau barang baru yang diperoleh sebab terbunuhnya dia, atau kecelakaan berupa santunan ganti rugi. Lihat kitab Al-Mualim Fil Fara’idh hal.119

Adapun barang tidak berhak diwaris, diantaranya:

[1]. Peralatan tidur untuk isteri dan peralatan yang khusus bagi dirinya, atau pemberian suami kepada isterinya semasa hidupnya. Lihat Fatawa Lajnah Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiah wal Ifta 16/429

[2]. Harta yang telah diwakafkan oleh mayit, seperti kitab dan lainnya. Lihat Fatawa Lajnah Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiah wal Ifta 16/466

[3]. Barang yang diperoleh dengan cara haram, seperti barang curian, hendaknya dikembalikan kepada pemiliknya, atau diserahkan kepada yang berwajib. Lihat keterangannya di dalam kitab Al-Muntaqa Min Fatawa, Dr Shalih Fauzan 5/238

Semua barang peninggalan mayit bukan berarti mutlak menjadi milik ahli waris, karena ada hak lainnya yang harus diselesaikan sebelum harta peninggalan tersebut dibagi. Hak-hak yang harus diselesaikan sebelum harta waris tersebut dibagi ialah sebagai berikut.

[1]. Mu’nat Tajhiz Atau Perawatan Jenazah
Kebutuhan perawatan jenazah hingga penguburannya. Misalnya meliputi pembelian kain kafan, upah penggalian tanah, upah memandikan, bahkan perawatan selama dia sakit. Semua biaya ini diambilkan dari harta si mayit sebelum dilakukan hal lainnya. Berdasarkan perkataan Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Dan kafanillah dia dengan dua pakaianya” [Hadits Riwayat Bukhari 2/656, Muslim 2/866] Maksudnya, peralatan dan perawatan jenazah diambilkan dari harta si mayit.

[2]. Al-Huquq Al-Muta’aliqah Bi Ainit Tarikah Atau Hak-Hak Yang Berhubungan Dengan Harta Waris.
Misalnya barang yang digadaikan oleh mayit, hendaknya diselesaikan dengan menggunakan harta si mayit, sebelum hartanya di waris. Bahkan menurut Imam Syafi’i, Hanafi dan Malik. Didahulukan hak ini sebelum kebutuhan perawatan jenazah, karena berhubungan dengan harta si mayit. Lihat Fiqhul Islami wa Adillatihi 8/274. Tas-hil Fara’idh, 9. Dalilnya ialah, karena perkara ini termasuk hutang yang harus diselesaikan oleh si mayit sebagaimana disebutkan di dalam surat An-Nisa ayat 12, yaitu : “Sesudah dibayar hutangnya”.

[3]. Ad-Duyun Ghairu Al-Muta’aliqah Bit Tarikah Atau Hutang Si Mayit
Apabila si mayit mempunyai hutang, baik yang behubungan dengan berhutang kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, seperti membayar zakat dan kafarah, atau yang berhubungan dengan anak Adam, seperti berhutang kepada orang lain, pembayaran gaji pegawainya, barang yang dibeli belum dibayar, melunasi pembayaran, maka sebelum diwaris, harta si mayit diambil untuk melunasinya. Dalilnya ialah.

“Artinya : Sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi madharat (kepada ahli waris)” [An-Nisa : 12]

[4]. Tanfidzul Wasiyyah Atau Menunaikan Wasiat
Sebelum harta diwaris, hendaknya diambil untuk menunaikan wasiat si mayit, bila wasiat itu bukan untuk ahli waris, karena ada larangan hal ini, dan bukan wasiat yang mengandung unsur maksiat, karena ada larangan mentaati perintah maksiat. Wasiat ini tidak boleh melebihi sepertiga, karena merupakan larangan. Dalilnya, lihat surat An-Nisa ayat 12 yaitu : “Sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat”.

Jika empat perkara di ats telah ditunaikan, dan ternyata masih ada sisa hak milik si mayit, maka itu dinamakan Tarikah atau bagian bagi ahli waris yang masih hidup. Dan saat pembagian harta waris, jika ada anggota keluarga lainnya yang tidak mendapatkan harta waris ikut hadir, sebaiknya diberi sekedarnya, agar dia ikut merasa senang, sebagaimana firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 8.
Share