Menjadi seorang ibu baru bukanlah pekerjaan mudah. Lepas dari hamil yang merepotkan hingga melahirkan yang butuh perjuangan. Menyusui yang kukira bisa terjadi dengan sendirinya tak kualami sama sekali. Di hari ketiga pasca melahirkan, aku masih kebingungan mengapa ASIku tak kunjung keluar kecuali setetes dua tetes. Demi memberikan kolostrum bagi bayiku yang baru lahir aku terus berharap dan mengusahakan keluarnya ASI. Berturut-turut temanku yang datang membesuk kelahiran putraku terus memberi dorongan dan masukan agar aku senantiasa bersabar menyusui bayiku. Dan bayiku terus menangis hingga akhirnya tertidur di pangkuanku, kelelahan menangis karena yang ia harapkan dapat memenuhi dahaganya tidak juga ada. Selama sebulan aku terus memperjuangkan ASI keluar sembari memberikan susu formula kepada bayiku. Mengenai hal ini keluargaku sempat memiliki trauma tersendiri. Adik bungsuku, Rayhan, dilahirkan oleh ibuku saat usiaku enam belas tahun. Sudah pasti aku telah mengerti mengenai apa yang terjadi saat itu. Ibuku melahirkan secara caesar, sehingga masih harus menginap di RS selama lima hari. Sayangnya, di hari ketiga ibuku merasa gelisah. Ia merasa ada yang tidak beres dengan adik kecilku. Memang adik kecilku berada di ruangan terpisah dari ibuku. Kami tidak bisa menyuapinya susu dengan leluasa kecuali di siang hari. Ibuku sangat khawatir mengenai hal ini. ASI ibuku memang tak kunjung keluar meski payudaranya telah membengkak dan ia merasakan sakit yang amat sangat. Tak kurang dokter juga perawat yang mengusahakan agar ASI dapat segera keluar dari ibuku. Pastinya mereka memperhatikan karena ibuku dirawat di ruang VIP. Sayangnya ASI tak juga keluar dan peraturan rumah sakit tidak membolehkan memberikan susu menggunakan botol dot, bayi harus disuapi dengan sendok. Menyuapi bayi dengan sendok bukan perkara mudah. Ini adalah hal yang memerlukan ketelatenan dan kesabaran tingkat tinggi. Sementara saat menyuapi adikku di siang harinya saja aku sudah kerepotan, apalagi para perawat yang notabene merawat lebih dari satu bayi? Dan kekhawatiran ibuku beralasan. Ibuku curiga dengan suara tangisan bayi yang ia dengar terus-menerus. Ia merasa itu adalah suara tangisan adikku yang kehausan. Meski belum pulih benar, ibuku bangun dari tempat tidurnya dan bergegas menuju ruang bayi. Dan benar saja, adikku terus menangis disana. Sedihnya, badan adikku terasa panas dan kekuningan. Kontan saja ibuku langsung marah-marah, sambil berlinangan air mata, kepada perawat yang ada. Ia kecewa dengan pelayanan yang diberikan, padahal kami bersedia merawat adik bayi namun tidak diizinkan sekamar dengan ibuku. Dokter pun segera datang dan menangani adikku. Ternyata billirubin adikku tinggi, ini diakibatkan kurangnya cairan dan sinar matahari. Kasihan sekali dia, akibat kelalaian perawat, adikku yang mungil harus berada di ruang inkubator. Tubuh mungilnya terlihat ringkih diselimuti selang, tak hanya itu bayi berumur tiga hari itu terpaksa ditransfusi darah pada bagian kepala. Ya Allah tak terkira pedihnya hati kami (bahkan saat menuliskannya aku masih saja meneteskan air mata). Ibuku, bapakku, aku dan adikku, kami terus saja menangis melihat adik bayi tergolek lemah disana. Kami hanya bisa berdoa untuk kesembuhan adik. Di hari kelima, ibuku sudah boleh pulang, tapi adikku masih harus dirawat disana. Itu adalah hari-hari paling memilukan dalam keluarga kami. Syukurlah tiga hari berikutnya adikku sudah sehat kembali sebagaimana bayi lainnya. Hal ini adalah pelajaran berharga dalam hidup kami, hidupku. Barangkali ini pula yang menjadi latar belakang mengapa ibuku mendorongku untuk memberikan sufor sesegera mungkin ketika melihat ASIku tak kunjung keluar. Tentu saja ia tak ingin kejadian serupa kembali terjadi pada anakku.
Aku menyaksikan sendiri perisitiwa ini terjadi pada ibuku saat melahirkan adik kecilku. Sehingga au mengetahui jawaban yang sesungguhnya mengenai pilihan ibuku terhadap anak-anaknya dan aku tak mampu menghakiminya mengapa ia tak memberikan ASI pada kami? Nyata adanya kulihat hebatnya rasa sakit karena membengkaknya payudara akibat ASI yang tidak keluar. Itupula yang terjadi padaku pasca melahirkan putra pertamaku. Setelah aku merasa telah berjuang sepenuh tenaga demi memeroleh ASI bagi putraku, aku pun menyerahan sepenuhnya kepada Allah SWT. Inilah rezeki yang diperuntukkan bagi putraku berupa susu formula. Sungguh aku tak tergiur dengan iklan-iklan susu formula yang menawarkan berbagai kelebihannya. Aku adalah ibu yang insaf bahwa ASI adalah yang terbaik bagi setiap bayi. ASI tentu lebih mudah daripada harus menyiapkan susu formula apalagi saat keuangan keluarga sedang tidak baik. Maka aku tidak mengerti kalau seorang ibu harus dipersalahkan karena ia tidak bisa memberikan ASI pada putranya, karena sesungguhnya ia tidak pernah menginginkan hal itu terjadi. Aku hanya bisa berdoa semoga susu yang dibeli dengan jerih payah ayahnya dapat bermanfaat bagi tubuhnya dan tiada memberikan efek samping negatif apapun yang dikatakan orang maupun berita-berita itu. Setiap ada pemberitaan negatif mengenai susu formula, hanya Allah yang tahu betapa gundah-gulananya diriku sambil terus berdoa agar anakku baik-baik saja. Sesungguhnya Allah lah yang memberikan manfaat pada setiap makanan dan ia pula yang menurunkan penyakit sebagai ujian. Dan aku berharap Allah menjaga anakku dari segala penyakit berbahaya. Aku meyakini kehalalan dari susu formula tersebut, aku juga tak melihat ada dalil Qur’an ataupun Hadits yang menyatakan keharaman pemberian susu bukan ASI pada seorang anak. Tidak pula seorang ibu dinista karenanya. Rasulullah saw bahkan meminum susu unta. Tidakkah sapi, kedelai atau bahkan kambing juga makhluk ciptaan Allah yang darinya terdapat banyak manfaat? Entang daging atau susunya. Artikel demi artikel mengenai kehebatan ASI dan juga keburukan susu formula kulahap sebagai informasi penting bagi diriku agar tetap waspada. Namun aku sudah lelah bila harus berpolemik mengenai hal tersebut. Biarlah setiap ibu mengusahakan yang terbaik bagi anak-anaknya dan memutuskan yang terbaik tanpa harus banyak berdebat. Syukurilah bila seorang ibu dapat memberikan ASI dengan lancar dan mudah kemudian sukses membesarkan mereka tanpa juga harus diimunisasi. Karena cobaan yang kita alami berbeda, cobalah berempati dengan ibu-ibu lain yang tak seberuntung itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar baik berupa kritik maupun apresiasi baik yang sopan amat saya nantikan, terima kasih telah singgah di blog ini :)